SOLOPOS.COM - Y Bayu Widagdo, Wartawan Jaringan Berita Bisnis Indonesia (JIBI). (FOTO/Istimewa)

Y Bayu Widagdo, Wartawan Jaringan Berita Bisnis Indonesia (JIBI). (FOTO/Istimewa)

Pak Jokowi hari-hari terakhir ini mungkin sangat pening untuk memutuskan terus atau tidak proyek mass rapid transportation (MRT) Jakarta. Mungkin yang betul bukan jalan terus atau tidak, karena proyek MRT atau kereta bawah tanah (KBT)—istilah yang digunakan Jokowi—sudah dirancang sejak bertahun-tahun lalu, tepatnya 2001.

Promosi Liga 1 2023/2024 Dekati Akhir, Krisis Striker Lokal Sampai Kapan?

KBT Jakarta yang berbasis rel terbagi dalam dua koridor, selatan-utara dan timur-barat. Koridor pertama, yakni ruas selatan-utara dimulai dari Lebak Bulus, Jakarta Selatan dan berakhir di Kampung Bandan, Jakarta Utara sepanjang kurang lebih 23,8 km.

Pembangunan koridor Lebak Bulus-Kampung Bandan dilakukan dalam dua tahap. Pertama, pembangunan berawal dari Lebak Bulus hingga Bundaran Hotel Indonesia sepanjang 15,7 km. Tahap kedua akan dimulai dari Bundaran Hotel Indonesia hingga Kampung Bandan, sepanjang 7,8 km. Adapun, koridor timur-barat masih berada pada tahap studi kelayakan.

Total nilai proyek proyek KBT dari Lebak Bulus hingga Dukuh Atas mencapai 144 miliar yen atau sekitar Rp15 triliun. Pemerintah Jepang rencananya memberikan utang untuk proyek ini sebesar 120 miliar yen. Sisa pendanaan akan dibiayai dari APBN dan APBD DKI.

Nah ini yang membuat Jokowi pening karena komposisi beban tanggungan pembayaran utang yang disepakati pada 2005 lalu dibagi menjadi 42% oleh Pemerintah Pusat, dan 58% Pemprov DKI. Belum lagi ditambah besaran subsidi yang harus ditanggung Pemprov DKI untuk tarif penumpang KBT nantinya. Artinya beban bagi DKI sangat tinggi dan bila mengacu pada komposisi itu, besaran tarif KBT mencapai Rp38.000/penumpang. Bila tiket dijual Rp10.000, maka Pemprov DKI harus menyubsidi sampai Rp28.000.

“Besar subsidinya hampir 300%. Tidak mungkin juga seperti itu. Sementara kalau komposisinya berubah misalnya menjadi 70% pusat dan 30% DKI, tarif hanya Rp19.000/penumpang,” kata Pak Jokowi.

Hitungan mantan walikota Solo itu besaran subsidi yang masuk akal adalah sekitar Rp6.000-Rp7.000/tiket. Besaran tersebut terjadi jika komposisi pembiayaan berubah menjadi 75% ditanggung oleh Pemerintah Pusat dan 25% Pemprov DKI.

Jokowi pun ngotot melakukan negosiasi ulang dengan Pemerintah Pusat soal pembagian beban ini. Akibatnya proyek KBT pun terancam molor.”Masih dalam proses, saya belum bisa memutuskan,” tegas Pak Jokowi.

“Biar saja Jokowi pening ngurusi KBT. Yang penting nantinya KBT jangan jadi beban rakyat,” kata Mas Suta, teman saya.

Sekitar 2 km di utara kantor Jokowi juga ada pemimpin yang lagi pening. Hla gimana tidak, Pak SBY juga pusing memikirkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang terus meningkat. APBN Perubahan 2012 yang mencapai Rp 1.548 triliun, sekitar 15% atau setara Rp225 triliun dialokasikan untuk subsidi energi.

Repotnya dana besar subsidi energi pun ternyata tidak sepenuhnya tepat sasaran, di mana 77% di antaranya dinikmati oleh yang tidak berhak. Subsidi seharusnya ditujukan untuk golongan rakyat yang tidak mampu, namun ternyata lebih banyak dinikmati orang yang mampu atau kaya.

Banyak pandangan yang menyebutkan sudah seharusnya Indonesia mengurangi subsidi energi itu dan mengalihkan dananya untuk kepentingan lain yang lebih penting. Soalnya, sia-sia saja subsidi energi bila hanya dibakar saja. Namun memutuskan kapan harus mencabut subsidi energi ini membuat Pak SBY pening. Apalagi urusan KPK-Polri belum juga selesai.

Pekan lalu saya hadir dalam satu diskusi menarik soal prospek ekonomi Indonesia 2013 yang diselenggarakan satu bank besar. Ada Menteri Perdagangan, ekonom UGM serta penasihat ekonomi presiden yang berbicara.

“Meski tetap waspada, tak perlu khawatir dengan ekonomi tahun depan.Tetap optismis,” kata Pak Gita, Menteri Perdagangan, yang disebut-sebut sebagai salah satu pemimpin muda yang akan bersinar pada 2014.

“Optimis sih optimis… Namun lebih optimis lagi bila subsidi BBM bisa dialihkan untuk yang lain,” timpal sang ekonom, Mas Tony.

Dalam perhitungan sang ekonom, bila pemerintah mau menaikkan harga bensin Rp1.500 per liter, setidaknya subsidi BBM bisa dihemat sekitar Rp70 triliun per tahun. Separuhnya saja dialihkan untuk pembangunan infrastruktur, pening Pak Jokowi bisa langsung bablas, ibarat minum jamu tolak angin. Tol Solo-Semarang maupun Solo-Ngawi langsung bisa dibangun.

“Pertanyaannya, kapan bensin mau dinaikkan harganya? Kan itung-itungan ekonominya sudah jelas,” tanya sang ekonom.

Giliran penasihat presiden, Firmanzah, yang menjawab. Kebetulan dia juga ekonom, masih muda lagi. Versi Istana, semua perhitungan ekonomi sudah dihitung cermat. Soal dampak sosial politik pun sudah diperhatikan. Simulasi yang dilakukan menunjukkan, penghematan Rp70 triliun itu tidak ada artinya dengan dampak sosial politik yang mungkin muncul.

“Tahun ini jelas tidak mungkin karena undang-undangnya tidak memungkinkan. Tahun 2013 itu tahun politik. Ada pilkada delapan gubernur, beberapa puluh pilkada bupati. Belum lagi mulainya pendaftaran DPR untuk pemilu 2014. Jadi tahun depan sangat panas,” kata sang penasihat.

Dia menambahkan, menghadapi pemilu 2014, mana ada partai yang mau disebut pendukung kenaikan harga bensin?

Saya pun mengambil kesimpulan, dapat dipastikan tahun 2013 pun pemerintah belum akan menaikkan harga BBM. Pak SBY pening karena bila bensin dinaikkan, jelas suara Partai Demokrat akan rontok pada 2014. Apalagi bila KPK semakin banyak menangkap petinggi partai itu menyusul Andi Malarangeng.

Jadi, biarkan para pemimpin yang pening. Kita masih bisa menikmati bensin murah hingga usai pemilu 2014, saat presiden baru nanti langsung pening begitu masuk Istana Negara melihat subsidi energi yang menggunung.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya