SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, WONOGIRI — Gemericik sungai Kahyangan di sela-sela bebatuan menjadi latar suara pemandangan bukit bebatuan menjulang dengan pohon-pohon yang rimbun. Aliran sungai berwarna cokelat sedang deras setelah diguyur hujan semalaman.

Orang pada umumnya mengenal Kahyangan sebagai petilasan Panembahan Senopati atau juga dikenal Danang Sutowijoyo, pendiri Kerajaan Mataram. Kahyangan adalah tempat Panembahan Senopati bersemedi meminta wahyu keprabon untuk mendirikan kerajaan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Lokasinya ada di Kahyangan, Dusun Dlepih, Desa Dlepih, Kecamatan Tirtomoyo, Wonogiri. Konon, wahyu itu datang dari Nyai Ratu Kidul, penguasa pantai selatan.

Juru Kunci Kahyangan, Mas Ngabehi Surakso Budaya Wakino, 80, menceritakan mula-mula Panembangan Senopati bersemedi di bawah batu yang posisinya lebih rendah dari Kahyangan. Tempat itu kini dinamai Sela Bethek.

Ekspedisi Mudik 2024

Di Sela Bethek, Panembahan Senopati malah ditemui Nyai Huju. Karena merasa terganggu, Panembahan Senopati berpindah tempat semedi ke bagian atas. Posisinya sama yakni di rongga bawah batu besar.

Batu itu sekilas memang terlihat seperti memayungi orang di bawahnya. Maka itu dinamai Sela Payung yang artinya batu payung. Di Sela Payung itulah Panembahan Senopati menerima wahyu keprabon dari Nyai Ratu Kidul.

Berdasarkan cerita itu banyak orang meyakini tempat itu sebagai tempat yang sakral untuk meminta berkah. Kahyangan biasanya ramai dikunjungi orang tirakatan pada malam Jumat Kliwon.

Jika arus sungai tenang, tak jarang orang berendam di sana. “Pejabat dari Solo dan Semarang banyak yang ke sini. Ada juga yang mau jadi caleg atau kades, mereka tirakatan di sini. Syaratnya hanya membawa dupa, syukur-syukur membawa bunga juga,” kata Wakino saat ditemui Solopos.com di rumahnya, Dusun Dlepih, Desa Dlepih, Tirtomoyo, Kamis (7/3/2019).

Wakino melanjutkan di Kahyangan ada satu pantangan yang harus dipatuhi semua pengunjung yakni dilarang berpakaian warna hijau. Wakino menjelaskan pantangan ini berasal dari cerita kedatangan Nyai Ratu Kidul yang menemui Panembahan Senopati sedang mengenakan pakaian warna hijau.

Jika ada orang memakai pakaian serupa, artinya dia menyamai Nyai Ratu Kidul. “Nyai Ratu Kidul enggak suka. Kalau dilanggar, yang bersangkutan bisa kena sial bahkan meninggal dunia,” terang juru kunci generasi keenam itu.

Ia menuturkan Kahyangan yang ditemui hari ini sudah mengalami renovasi beberapa kali. Yang pertama terjadi sekitar 1980-an, lalu 1990-an, dan terakhir sekitar dua tahun lalu. Semua pembangunan itu dilakukan setiap pengunjung yang merasa keinginannya terkabul seusai tirakat di sana.

“Jadi di sana, bangunan-bangunan itu yang bikin pengunjung, bukan pemerintah. Biasanya karena keinginan mereka terkabul lalu ke sini membantu bikin tempat apa begitu,” beber dia.

Hingga hari ini, Kahyangan masih dijadikan tempat favorit orang-orang untuk tirakatan. Sedangkan bagi warga Dlepih sendiri, tempat itu justru jarang dipakai tirakatan.

“Orang sini malah jarang ke sana. Karena di sini, kalau ada apa-apa biasanya sudah menerima ‘perintah’ langsung. Misalnya, mau jadi caleg, itu karena ada ‘perintah’ jadi caleg,” urai Wakino.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya