SOLOPOS.COM - M. Dwi Sugiarto (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Hal ihwal revisi UU Pemilu sedang ramai menjadi pembahasan dan tengah diupayakan oleh sebagian pihak untuk masuk program legislasi di parlemen. Revisi rancangan undang-undang ini akan menggunakan dua istilah baru, yaitu pemilihan umum (pemilu) nasional dan pemilu daerah.

Landasan merevisi UU Pemilu, yang menyangkut penyelenggaraan pemilu yang dijadwalkan dilaksanakan secara serentak pada 2024, di antaranya adalah hasil dan pengalaman pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden pada 2019.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dua hajatan demokrasi tersebut menimbulkan kelelahan yang ekstra bagi penyelenggara sehingga banyak petugas penyelenggara pemilihan umum yang  meninggal dunia. Dalam rancangan pemilu 2024 yang mencakup pemilihan anggota legislatif, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah masih terdapat perbedaan skema dalam menyiasati waktu pelaksanaannya.

Perbedaan itu adalah dilaksanakan pada hari yang sama atau pada tahun yang sama dengan hari yang berbeda. Dalam hal UU tentang pemilu dan UU tentang pemilihan kepala daerah yang berlaku sekarang ini dijadikan dasar hukum bagi penyelenggaraan pemilu dan pemilihan kepala daerah serentak 2024 dapat diperoleh gambaran simulasi tahapan yang saling bersinggungan/beririsan.

Ekspedisi Mudik 2024

Perkiraan yang muncul kemudian adalah pemungutan suara pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden 2024 akan dilaksanakan pada Maret 2024 dan pemungutan suara pemilihan kepala daerah 2024 pada November 2024. Skema terus bergulir sampai diputuskannya tahun pelaksanaan pemilihan kepala daerah, yaitu tetap pada 2024 sesuai UU tentang pemilihan kepala daerah yang sudah didesain atau menyelenggarakan pemilihan kepala daerah pada 2022 dan/atau 2023.

Skema awal yang dibangun untuk membentuk pemilu serentak diawali dengan pemilihan kepala daerah serentak yang sudah dimulai pada 2015, kemudian berlanjut pada 2017, 2018, 2020, dan puncaknya pada 2024 dengan melangsungkan pemilihan kepala daerah serentak secara nasional dengan waktu dan jadwal yang bersamaan di seluruh daerah kabupaten/kota dan provinsi.

Rencana ini sudah berjalan dengan cukup baik dan tidak terlalu ditemukan problem akut terkait pelaksanaan dengan menggabungkan secara bersamaan antara pemilihan gubernur dengan pemilihan bupati/wali kota di beberapa daerah.

Kabupaten Kudus di Jawa Tengah menyelenggarakan pemilihan bupati pada 2018 yang bersamaan waktunya dengan pemilihan gubernur Jawa Tengah. Daerah yang mengalami pemilihan gubernur dan pemilihan bupati/wali kota secara bersamaan berhasil melewati dengan baik dan tidak memunculkan kejadian serta permasalahan serius dari agenda tersebut.

Pelaksanaan yang bersamaan antara pemilihan gubernur dan pemilihan bupati/wali kota justru dapat menggunakan beberapa instrumen secara bersamaan seperti data pemilih yang digunakan, sarana dan prasarana yang digunakan, dan tentu personalia penyelenggara yang bertugas.

Fondasi demokrasi yang berubah dari pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD menjadi dipilih rakyat secara langsung selama ini menjadi hajatan politik paling menarik karena bersentuhan secara langsung dan lebih dekat dengan urusan rakyat dibanding pemilihan di level nasional (pemilihan presiden).

Kepala daerah menjadi entitas poitik paling mengena di mata masyarakat dengan menyandang kesan sebagai orang tua di wilayah tersebut. Banyak kepala daerah yang tidak hanya menjalankan tugas pemerintahan, tetapi lebih jauh juga masuk pada aspek sosiokultural masyarakat sehingga acap kali dipanggil sebagai, misalnya, ”bapake wong Boyolali" (bapaknya orang Boyolali).

Calon Tunggal

Kompleksitas dalam desain UU Pemilu sebenarnya tidak hanya menyangkut waktu pelaksanaan pemungutan suara. Salah satu aspek yang perlu untuk dilihat adalah meningkatnya fenomena pasangan calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah.

Terjadi penambahan pasangan calon tunggal kepala daerah yang sangat masif jumlahnya sejak diperbolehkannya pemilihan kepala daerah dilaksanakan dengan hanya diikuti satu pasangan calon. Yang terbaru pada pemilihan kepala daerah 2020, ada 25 kabupaten/kota yang diikuti pasangan calon tunggal.

Merebaknya pasangan calon tunggal kepala daerah terjadi setelah diperbolehkannya pemilihan kepala daerah diikuti oleh hanya satu pasangan calon berdasarkan putusan Mahkamah Konstoitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015.

Pemilihan kepala daerah dengan pasangan calon tunggal sebenarnya telah menghambat upaya perkembangan demokrasi di daerah karena masyarakat tidak disuguhi kontestasi politik yang sehat.

Persyaratan untuk dapat menjadi calon kepala daerah berupa dukungan partai politik yang punya kursi di DPRD sebesar minimal 20% atau dukungan masyarakat paling sedikit 10% bagi daerah dengan daftar pemilih tetap hingga 250.000, yang artinya minimal 25.000 dukungan dari total penduduk yang tersebar di setengah lebih wilayah, bukanlah perkara yang mudah untuk dipenuhi.

Kerugian terbesar terletak pada masyarakat karena tidak mendapatkan kontestasi politik yang berkualitas dengan bobot kandidat yang tidak teruji di hadapan publik. Debat pasangan calon kepala daerah menjadi ajang bagi kandidat merayu pemilih dengan gagasan, visi, dan misi yang ditawarkan.

Debat juga menjadi ruang menguji gagasan lawan politik serta mempertahankan gagasan, visi, dan misi dari serangan lawan politik. Dalam pemilihan kepala daerah dengan pasangan calon tunggal jelas tidak muncul konsep debat yang demikian.

Yang ada hanyalah pertanyaan dari panelis tentang gagasan yang dibawa oleh pasangan calon tunggal itu dan ini lebih terasa sebagai sebuah acara sosialisasi. Kandidat yang bertarung melawan kotak/kolom kosong juga berkurang legitimasinya di hadapan publik atas kemenangan yang diraih. Dalam bahasa sederhana ”menang ora kondhang” karena kemenangannya nyaris tanpa perlawanan.

Kegagalan Partai Politik

Kegagalan memunculkan kandidat dalam pemilihan kepala darah jelas jelas ada di partai politik yang tidak mampu melakukan kaderisasi secara maksimal serta tak berkomitmen menjaga demokrasi dan demokratisasi di daerah.

Partai politik cenderung mencari aman dengan tidak melawan calon kepala daerah yang sebagian besar pada kasus calon tunggal adalah petahana. Ada kasus calon kepala daerah diusung oleh semua partai politik pemilik kursi di DPRD.

Ada pula yang sebaliknya, partai politik seakan-akan tidak bergerak dalam kontestasi pemilihan kepala daerah karena juga tidak menjadi pengusung pasangan calon kepala daerah yang maju dalam pemilihan itu.



Anggapan yang muncul kemudian adalah pasangan calon tunggal kepala daerah yang biasanya petahana dianggap memiliki kualitas politik yang tidak memungkinkan bagi partai politik lain untuk melawannya.

Hal ini jelas memunculkan tanda tanya bahwa partai politik di daerah hanya akan menunggu hajatan pemilihan anggota legislative dan pemilihan presiden sebagai agenda musiman, sedangkan pemilihan kepala daerah yang merupakan kepentingan daerah justru tidak dipersiapkan secara serius.

Dapat pula terjadi ternyata partai politik sudah dibeli agar tidak mengajukan calon kepala daerah atau justru yang lebih tragis adalah karena diintimidasi oleh kekuatan politik yang lebih besar.

Perlu ada langkah baru memperkuat partai politik di daerah agar kehadirannya dalam menjaga demokrasi di daerah dapat berjalan sebagaimana peran partai politik sebagai salah satu tiang demokrasi. Revisi UU Pemilu penting untuk mengharuskan partai politik bertanggung jawab atas terlaksananya pemilihan kepala daerah minimal dengan dua pasangan calon.

Bagi partai politik yang tidak mampu mengusung pasangan calon kepala daerah secara mandiri dapat melakukan koalisi dengan partai politik yang tersisa. Manakala partai politik secara keseluruhan tidak ada yang memungkinkan mengusung pasangan calon kepala daerah secara mandiri, maka proses koalisi juga memperhatikan kemungkinan sisa bagi partai politik yang lainnya minimal menyisakan untuk satu pasangan calon kepala daerah lagi

Sedangkan bagi partai politik yang tidak mengusung pasangan calonkepala daerah  dan keluar dari dua koalisi, maka pada pemilihan kepala daerah mendatang tidak diperbolehkan mengusung calon kepala daerah atau yang lebih mengerikan adalah tidak dapat mengikuti pemilihan anggota legislatif di daerah tesebut.

Pemilihan Kepala Desa

Proses demokrasi di tingkat desa seharusnya menjadi pertimbangan bahwa kualitas demokrasinya semakin membaik karena menjadi ajang evaluasi bagi kepemimpinan yang telah berlangsung.

Banyak calon petahana dalam pemilihan kepala desa atau pilkades mengalami kekalahan. Ini terjadi karena rakyat diberi kesempatan untuk memilih calon yang lain, sedangkan dalam pemilihan kepala daerah bagi calon tunggal hanya akan menjadi suka/tidak suka.

Kesempatan bagi rakyat untuk menolak kepemimpinan seseorang lebih terbuka dalam pemilihan kepala desa dibandingkan pemilihan kepala daerah. Walaupun pemilihan kepala daerah dimungkinkan untuk diikuti oleh calon perseorangan, namun syarat untuk mengajukan calon perseorangan bukanlah perkara yang mudah.

Fenomena dalam pemilihan kepala desa yang menunjukkan ada calon kepala desa yang melawan suami/istrinya sendiri menandakan beberapa kemungkinan. Pertama, calon kepala desa yang biasanya berstatus petahana masih sangat diharapkan oleh masyarakat untuk memimpin.

Kedua, karena dominasi politik dengan intervensi bahkan intimidasi dilakukan kepada masyarakat. Persaingan politik di desa lebih dinamis dalam kandidasi karena tidak memerlukan unsur partai politik atau pencalonan dengan mengumpulkan dukungan. Pasangan suami-istri dapat bertarung dalam panggung demokrasi pemilihan kepala desa.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya