SOLOPOS.COM - Sudjendro [baju putih] dan Suryono saat mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos di KSM Sampurna Asih, Dusun Dayakan, Desa Pengasih, Kecamatan Pengasih, Kulonprogo, Sabtu (5/9/2015). (Harian Jogja/Rima Sekarani)

Pengelolaan Sampah Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Sampurna Asih sempat mendapat penolakan dari warga Dusun Dayakan, Desa Pengasih, Kecamatan Pengasih, Kulonprogo. Namun, mereka terus bertahan dan berusaha meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya 3R atau reduce, reuse, dan recycle. Berikut laporan wartawan Harian Jogja, Rima Sekarani I.N.

Harianjogja.com, KULONPROGO- Sampurna Asih adalah KSM pengelola sampah pertama di Kulonprogo. Sejumlah warga setempat merintisnya sejak 2011 silam. Setelah resmi beroperasi pada Maret 2012, KSM Sampurna Asih saat ini telah melayani lebih dari 700 kepala keluarga (KK) di wilayah Kecamatan Pengasih dan Wates.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Penggalan sejarah KSM Sampurna Asih itu disampaikan Suryono kepada Harian Jogja, Sabtu (5/9/2015) pagi. Dia baru saja selesai mengumpulkan sampah dari beberapa anggota di sekitar Dayakan.

“Pengelolaan sampah itu syarat dengan ibadah. Menyadarkan masyarakat tidak semudah membalikkan telapak tangan,” tutur Suryono sembari mengajak Harian Jogja menuju ruang sekretariat KSM Sampurna Asih.

Suryono adalah Ketua II KSM Sampurna Asih. Merasa khawatir tidak bisa memberikan informasi lengkap, dia pun menelepon Ketua I, Sudjendro. “Dulu kita satu-satunya di Kulonprogo. Iurannya cuma Rp10.000 per bulan. Kalau sekarang naik jadi Rp15.000,” ucap Suryono.

Sembari menunggu Sudjendro, Suryono meneruskan ceritanya. Bagi dia, membesarkan KSM Sampurna Asih adalah perjuangan besar. “Awal mau membuat kelompok, kami ditarget harus punya anggota 250 orang dalam tiga bulan. Padahal waktu itu baru ada 90 orang,” papar dia.

Belum lama Suryono bercerita, Sudjendro datang. Dia langsung bersemangat memaparkan kisah suka duka KSM Sampurna Asih. “Bangunan pusat pengelolaan sampah sudah berdiri sejak Juli 2011, lalu Agustus kami bentuk pengurus dan segera sosialisasi kepada masyarakat,” ujarnya.

Biaya operasional awalnya lebih banyak ditanggung pengurus, termasuk uang bensin. Mereka juga sempat ditentang warga pada tiga bulan pertama. “Ada tetangga yang tidak suka karena katanya bikin bau dan mengganggu. Kami lalu didatangi Ombudsman tapi ternyata itu tidak terbukti,” kata Sudjendro.

Menurut pensiunan berusia 67 tahun ini, saat itu masyarakat setempat memang belum mengerti cara mengelola sampah. Wajar jika mereka khawatir dengan keberadaan KSM yang dianggap serupa dengan tempat pembuangan sementara (TPS).

Sekarang pun, masyarakat belum bisa memisahkan sampah menjadi tiga, yaitu sampah organik, kertas, dan plastik. Padahal jika itu dilakukan, beban petugas kebersihan bisa berkurang. “Tempat sampahnya sudah dibuat terpisah tapi membuangnya ya sama saja. Memang masih butuh waktu,” tukas Sudjendro.

Setiap Senin hingga Jumat, pemilahan sampah menjadi kegiatan utama. Selanjutnya pada hari Sabtu, mereka mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos. Namun, pupuk kompos yang dihasilkan kebanyakan juga diambil para anggota secara cuma-cuma.

“Kalau ada yang mau beli juga boleh. Harganya Rp800 per kilogram. Khusus anggota kami bebaskan. Biar mereka tahu kalau sampah bisa diolah dan jadi bermanfaat,” ungkapnya.

Senada dengan Suryono, menjadi pengurus KSM Sampurna Asih adalah ibadah bagi Sudjendro. Mereka tidak dibayar sepeser pun. Hasil penjualan sampah yang telah dipilah dan iuran anggota memang hanya cukup untuk membayar honor delapan pekerja pengambil sampah dan sejumlah biaya operasional lain. “Tekad kami ingin mengabdikan diri,”  ungkapnya kemudian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya