SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Di dalam ketentuan tentang otonomi daerah, pendidikan bukan bidang yang menempati posisi sentral. Dari ketentuan itu, otonomi daerah memberi konsekuensi lahirnya otonomi pendidikan. Namun saya kira untuk jaga akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan perlu institusi pendampingan. Di tingkat kabupaten/kota dan provinsi, pendampingan dilakukan lembaga Dewan Pendidikan, sedang di tingkat sekolah, pendampingan dilakukan Komite Sekolah.

Saya rasa, perwujudan legitimasi otonomi pendidikan di tingkat sekolah terlihat dengan dilansirnya isu kebijakan pendidikan MPMBS (Manajemen Pengembangan Mutu Berbasis Sekolah) yang merupakan alat mewujudkan otonomi pendidikan di sekolah. Meskipun demikian, sekolah diharapkan mampu memenuhi standar nasional, dan pemerintah pusat membuat kendali untuk mewujudkan standard nasional itu. Namun, sekolah berhak mengambil inisiatif sendiri yang hasilnya dimungkinkan akan melampaui penyelenggaran standar nasional tersebut. Bila

Promosi Ayo Mudik, Saatnya Uang Mengalir sampai Jauh

Sejak diundangkannya Sisdiknas No 2 tahun 1989 dan juga termuat dalam Sisdiknas UU No 20 Tahun 2003, dinyatakan SD dan SMP menjadi satu kesatuan dalam fungsinya, menjadi “Wajar Pendidikan Dasar 9 Tahun”. Tapi sayang, sampai saat ini belum tampak perbedaan dan perubahan pengelolaan pendidikan di tingkat SD dan SMP dan belum tampak pula kebersamaan antara SD dan SMP.

Untuk menamatkan pendidikan di SD sebagai Wajar Pendidikan 9 Tahun, tak diperlukan lulus ujian akhir, tapi cukup dinyatakan tamat belajar di SD. Dengan demikian SD dan SMP yang tekanannya pada pendidikan yakni pembentukan watak dan terjadinya perkembangan yang wajar, dapat melakukan evaluasi proses dengan lebih teliti daripada hanya evaluasi akhir yang tak akan mampu mengungkapkan segi-segi watak dan pribadi anak. Pengelolaan pendidikan di SMP sebagai wajar pendidikan dasar 9 tahun, seharusnya tak lagi terpisah dengan SD.

Setelah anak menamatkan pendidikan dasarnya, maka tak lagi ada keharusan melanjutkan studi ke sekolah menengah. Masyarakat boleh memilih anaknya melanjutkan sekolah ke jenjang sekolah menengah atau masuk ke masyarakat. Akan tetapi masyarakat punya kewajiban moral mendorong anaknya melanjutkan ke sekolah menengah.

Bagi mereka yang belum ingin masuk kemasyarakat dan yang punya kemampuan akademik serta kemampuan ekonomi, tamatan SMP diharapkan sudah punya kompetensi sebagai produk pendidikan dasar. Bila ia ingin melanjutkan seharusnya punya kesiapan melanjutkan, bila ia ingin bekerja diharapkan dapat jadi pekerja yang baik, dan bila ia ingin jadi orang tua diharapkan juga dapat jadi orang tua yang baik.

Saya rasa, di negara kita tekanan pendidikan di setiap jenjang pendidikan kelihatannya belum jelas. Di semua jenjang pendidikan siswa diberi ilmu pengetahuan, tanpa memperhatikan visi dan misi pendidikan di setiap jenjang pendidikan. Pola kurikulumnya sama di setiap jenjang yakni berpola untuk kelanjutan studi. Tidak ada kurikulum yang membangun watak dan pribadi, dan kurikulum yang mengakomodasi kondisi untuk perkembangan anak, serta kurikulum yang mengembangkan anak untuk ramah lingkungannya.

Saya kira, sistem pengelolaan pendidikan dari SLTA ke bawah seharusnya berada dalam satu sistem pengelolaan ialah oleh Diknas. Muatan politik dalam pengelolaan sekolah ini harusnya semakin dikurangi, dan beralih ke sistem pengelolaan yang fungsional. Perguruan Tinggi yang seharusnya lepas dari pengelolaan Diknas, masih saja dalam pengelolaan Diknas, sehingga PT lebih banyak memikirkan pendidikan dan tidak memikirkan pengembangan keilmuan.

Hambatan terlaksananya Wajar Pendidian Dasar 9 Tahun adalah (1) Hambatan sosial-psikologis, yakni yang dialami oleh orang tua, karena peran sosial tamatan SD dan SMP penghargaannya di masyarakat pada dasarnya tidak ada perbedaan yang nyata. Akibat dari faktor ini maka anaknya tamat SD atau SMP dianggap sama saja. (2) Hambatan birokratis, karena pengelolaan SD berbeda dengan pengeleloaan SMP. Sehingga menyatunya fungsi SD dan SMP sebagai wajar pendidikan dasar 9 tahun mengalami kesulitan.

Agar wajar pendidikan dasar 9 tahun berjalan normal, maka perlu kerjasama antar berbagai pihak. (1) Kerjasama antara pengelola SD dengan pengelola SMP, sehingga integrasi kedua lembga pendidikan itu dapat terjadi dengan baik.(2) Kerjasama antara Kepala Sekolah SD dengan Kepala Sekolah SMP serta kerjasama antar Kepala SMP dalam mendistribusikan calon siswanya, sehingga tamatan SD mendapat layanan proporsional dari Pimpinan SMP (3) Kerjasama dengan Camat setempat, terkait dengan upaya memperoleh data yang pasti berapa jumlah anak usia sekolah pendidikan dasar yang ada di daerah itu (4) kerjasama dengan para Lurah, yang mengawasi adanya anak usia sekolah pendidikan dasar yang berkeliaran di rumah pada waktu jam sekolah (5) Kerjasama dengan aparat keamanan, yang mengawasi dunia usaha yang mempekerjakan anak-anak di bawah usia tamat SMP.***

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya