SOLOPOS.COM - Ilustrasi SPBU

Ilustrasi SPBU

MEDAN–Tata kelola perminyakan di Indonesia ditengarai dikuasai oleh mafia-mafia minyak terutama pada proses impor bahan bakar minyak (BBM).

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsudin menuding praktik transaksi impor dilakukan terselubung dan bernuansa penggelembungan anggaran yang dilakukan oleh anak usaha PT Pertamina yang berkedudukan di Singapura yaitu Petral. Dia menuding terjadi transaksi dalam jumlah yang besar setiap hari, jika dilakukan ‘mark up’ minimal US$1 per barel, angkanya akan tembus triliunan rupiah.

Din mempertanyakan uang yang diduga digelembungkan tersebut. Namun sayang, posisi perusahaan ini berada di luar negeri sehingga tidak bisa dijangkau oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga tidak bisa mengaudit. Padahal, Petral berada dibawah kendali Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

“Saya fikir Meneg BUMN Dahlan Iskan yang dulu didesak untuk membubarkan dan dia juga pernah sesumbar akan membubarkan perusahaan itu sampai sekarang juga tidak ada suaranya, saya kira itu mafia,” ujarnya kepada JIBI/Bisnis, di sela-sela acara Business Gathering, di Hotel Garuda Plaza Medan, Jumat (17/5/2013).

Dia menjelaskan, potensi dana yang hilang dari proses importasi tersebut cukup besar. Jika dikumpulkan bisa digunakan untuk menambah subsidi BBM.

Kendati demikian, lanjutnya, Indonesia dinilai masih cukup kaya meskipun sudah tidak menjadi produsen minyak serta sudah keluar dari keanggotaan organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC).

Indonesia sudah menjadi negara net-importir yang mengimpor BBM. Kebutuhan BBM di dalam negeri, kata dia, sekitar 1.250.000 barel per hari dengan kemampuan prouduksi hanya mencapai 900.000 barel per hari.

Sehingga, negara harus mengimpor sekitar 350.000 barel per hari kekurangan tersebut. Kemudian, kesalahan tata kelola berikutnya terjadi pada sistem eksplorasi yang ada saat ini. Pemerintah dituding membuka peluang bagi mayoritas perusahaan asing dengan metode ‘cost recovery’ atau melakukan eksplorasi terlebih dahulu kemudian membayar kewajiban
kepada pemerintah.

“Sistem itu tidak transparan dan akuntabel. Temuan BPK sendiri menyebutkan berapa ratus miliar yang hilang, ini sebuah inevisiensi,” paparnya.

Terakhir, Indonesia sudah terjeba pada mafia minyak internasional. Sebelumnnya harga minyak mengacu pada harga di Singapura, sekarang mengacu kepada harga di New York Amerika Serikat. Indonesia mengikuti harga minyak dunia, sehingga jika terjadi fluktuasi harga, Indonesia harus ikut menyesuaikan diri.

“Ini yang salah tata kelola. Kalau menurut hemat saya, harus dibenahi dengan Undang-Undang yang berpihak pada rakyat dan berkeadilan, mungkin akan lebih baik,” paparnya.

Din juga menilai rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM bertentangan dengan konstitusi. Terutama Undang-Undang Minyak dan Gas Pasal 28 ayat (f) tentang harga BBM di dalam negeri tidak boleh mengacu pada harga minyak dunia.

“Ini kami sebut jihad konstitusi, sayangnya DPR tidak berani bersuara. Pada intinya harga BBM di dalam negeri tidak boleh mengacu pada harga minyak dunia, ini bertentangan dengan konstitusi putusan Mahkamah Konstitusi,” tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya