SOLOPOS.COM - Ilustrasi paket pakaian dan sepatu bekas impor. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja - hp).

Solopos.com, SOLO — Fenomena belanja barang bekas (thrifting) dijadikan celah oleh para pengimpor pakaian bekas.

Namun pengamat ekonomi dari UNS, Sarjiyanto menilai impor pakaian bekas tidak menguntungkan secara ekonomi makro.

Promosi Sistem E-Katalog Terbaru LKPP Meluncur, Bisa Lacak Pengiriman dan Pembayaran

Dosen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UNS Sarjiyanto, mengatakan thrifting sebenarnya hal yang bagus untuk lingkungan karena menerapkan prinsip recycle dan sebagai implementasi gerakan ekonomi hijau.

Ekspedisi Mudik 2024

Tetapi jika yang dijual adalah produk fesyen bekas yang diimpor ke Indonesia malah menimbulkan masalah baru.

Menurutnya, permasalahan jelas terasa secara ekonomi karena bertentangan dengan tata niaga ekspor-impor dan berpotensi mematikan industri pakaian jadi dalam negeri.

“Budaya thrifting ada di setiap subkultur masyarakat urban termasuk di Indonesia,” papar Sarjiyanto saat dihubungi Solopos.com, belum lama ini.

Dia menambahkan masalah kedua juga dari sosial-kesehatan, karena pakaian bekas tidak higienis dan terpapar bakteri serta jamur yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat Indonesia.

“Celah juga berasal dari lemahnya pengawasan tata niaga dan banyak juga produk impor fesyen bekas yang masuk lewat pelabuhan-pelabuhan tanpa pengawasan kepabeanan,” tambah Sarjiyanto.

Sarjiyanto menjelaskan dilihat dari konsep ekonomi marko, impor pakaian bekas tidak menguntungkan secara ekonomi baik pertumbuhan ekonomi secara agregat.

Menurutnya, hal ini terjadi karena di samping aspek di luar ekonomi yaitu faktor kesehatan, adanya impor pakaian bekas mematikan industri pakaian jadi tanah air yang saat ini juga baru memasuki masa pemulihan pasca pandemi Covid-19.

Dia menambahkan dalam tata niaga ekspor-impor ada pengklasifikasian yang jelas mengenai komoditas yang dapat diperdagangkan secara internasional, sehingga menurut Sarjiyanto minimnya pengawasan dari pemerintah terkait celah aturan ekspor-impor dan masuknya barang di pelabuhan-pelabuhan tikus juga perlu diperbaiki.

Sarjiyanto menjelaskan kasus impor fesyen bekas adalah dampak dari upaya negara-negara lain mengurangi emisi karbon.

“Negara-negara di dunia sedang fokus mengatasi dampak emisi karbon dan sampah dari proses industrialisasi dan kegiatan ekonomi mereka, caranya dibuang ke negara-negara lain,” tambah Sarjiyanto.

Dia mengatakan secara ekonomi nilai pakaian bekas sangat rendah di negara-negara asalnya sehingga mendorong para pelaku bisnis untuk mengimpornya ke negara lain.

Sarjiyanto juga mengatakan hal ini perlu mendapat perhatian serius karena di satu sisi semua negara sudah berlomba-lomba menciptakan ekonomi hijau dan bebas emisi karbon, tetapi realitanya negara-negara berkembang termasuk Indonesia harus dirugikan dengan sampah-sampah mereka.

Menurutnya, limbah seharusnya harus dimusnahkan sesuai ketentuan tata niaga barang yang masuk ke Indonesia.

Sarjiyanto juga mengemukakan pemerintah sudah sangat reaktif terkait masalah impor fesyen bekas sampai ada arahan teknis dari Presiden Joko Widodo.

Dia berpendapat tinggal menunggu aksi dari kementerian terkait dan lembaga-lembaga negara untuk memberantas impor fesyen bekas ke pasar Indonesia.

Sarjiyanto juga berharap thrifting dengan produk dalam negeri tetap tumbuh karena tidak membahayakan terhadap kesehatan dan ekonomi masyarakat, juga mendukung gerakan circular ekonomi.

“Circular Economy adalah sebuah konsep ekonomi dalam alur lingkaran tertutup, dimana kita berusaha untuk mengkonsumsi sumber daya, bahan baku maupun produk jadi yang bisa dipakai ulang untuk selama mungkin, dan menghasilkan sampah atau limbah seminimal mungkin. Di mana dalam konsep tersebut menerapkan prinsip 5R yaitu Reduce, Reuse, Recycle, Recovery dan Repair,” tambah Sarjiyanto.

Sementara itu Kepala Program Studi Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan, Evi Gravitiani, mengatakan thrift shop tumbuh pesat karena pertumbuhan industri pakaian jadi yaitu salah satunya fast fashion.

Dihubungi Solopos.com, Senin (20/3/2023), Evi mengatakan fast fashion adalah model rantai pasok pakaian yang ditujukan untuk merespons tren mode terbaru dengan cepat.

Menurutnya, gagasan terkait industri mode saat ini adalah ‘Here Today, Gone Tomorrow.’

Evi mendukung bisnis pakaian bekas karena menjadi alternatif bagi konsumen dengan pendapatan terbatas tetapi thrifting harus menjual produk fesyen dalam negeri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya