SOLOPOS.COM - TEMPAT BERSEJARAH -- Ayya berpose di Grand Place, salah satu tempat bersejarah di Brussels, Belgia. (JIBI/SOLOPOS/Ist)

“Apakah tidak bisa ditunda dulu puasanya?” Pertanyaan itu masih diingat betul Setianingtyas Permatasari atau Ayya, warga Perum Fajar Indah, Jajar, Solo, saat ia mengingat kenangan menjalankan ibadah puasa Ramadan di Belgia tahun lalu.
Pertanyaan itu diajukan host dad atau ayah angkatnya saat akan mengajak Ayya jalan-jalan. Pertanyaan itu bagi Ayya merupakan salah satu tantangan yang dihadapi saat ia menjalankan ibadah puasa. Dirinya maklum, warga Belgia belum banyak yang mengetahui ajaran Islam.

BERLEBARAN -- Suasana perayaan Lebaran yang digelar oleh Kedutaan Besar RI di Brussels, Belgia. (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ayya merupakan salah satu siswa pertukaran pelajar program AFS atau Bina Antarbudaya yang ditempatkan di sekolah Athenee Royal de Florennes. Di sana, ia tinggal bersama keluarga pasangan Dubucq dan Limage di Florennes, Provinsi Namur, Belgia. Siswa Kelas XII SMAN I Solo yang baru beberapa pekan kembali ke Indonesia ini mengaku suasana Ramadan di Belgia dan Tanah Air sangat berbeda, apalagi umat muslim di sana minoritas. Jangankan mendengar azan atau orang membaca Alquran, mengetahui kapan waktu salat juga sulit karena letak masjid sangat jauh. Beruntung, keluarga angkatnya begitu baik, mereka bahkan bersusah payah browsing internet untuk membantu Ayya mengetahui jadwal salat, berbuka dan imsak serta memberikan kompas untuk mengetahui arah kiblat.
Ekspedisi Mudik 2024

“Selama Ramadan saya mengandalkan alarm handphone untuk memastikan waktu berbuka karena masjid sangat jauh. Jika ingin ke sana harus menggunakan bus dulu,” terangnya. Selain banyak orang yang belum mengetahui tentang ibadah puasa Ramadan, warga bebas makan-minum di tempat terbuka serta cuaca yang kurang mendukung, tantangan lain yang harus dihadapi anak pasangan A Iskandar Zulkarnain dan Ita Tresnawati ini, juga karena perbedaan lama waktu puasa. Ia hampir berpuasa selama 17 jam mulai pukul 03.00 dini hari hingga pukul 21.00 malam waktu setempat.

“Orangtua angkat saya kadang heran saya bisa tahan puasa berjam-jam. Begitu juga dengan teman-teman di sana, mereka bertanya apa saya tidak mati karena tidak makan. Kalau ditanya seperti itu saya menjelaskan dan mengenalkan Islam dengan diplomatis supaya mereka mudah mengerti,” katanya.

Sikap Ayya yang terbuka membuat keluarga dan teman-temannya begitu toleran dan menghormati keyakinannya sehingga ia bisa bebas mengerjakan ibadah. Selama Ayya puasa, misalnya, orangtua angkatnya menerapkan aturan kepada anggota keluarga lain di rumah tidak boleh makan-minum di sembarang tempat maupun di hadapan Ayya. “Kadang host mom rela bangun pukul 03.00 hanya untuk membangunkan dan mengingatkan saya sahur. Mereka belajar juga tentang makanan halal atau yang boleh saya makan,” ujarnya.

TEMPAT BERSEJARAH -- Ayya berpose di Grand Place, salah satu tempat bersejarah di Brussels, Belgia. (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Pelajaran toleransi lain yang ia dapat selama di Belgia adalah ketika Idul Fitri. Keluarga angkatnya mengantarkan Ayya ke Kedutaan Besar Indonesia di Brusel supaya ia bisa menjalankan salat Idul Fitri dan merayakan hari raya bersama saudar-saudara muslim Indonesia. Sebab, jarak tempat tinggalnya di Florennes lumayan jauh dengan kota Brusel.
Host dad sengaja mengambil cuti supaya bisa mengantarkan saya ke Kedutaan. Ketika saya salat, mereka menunggu di mobil tapi saat acara ramah tamah mereka saya kenalkan dengan saudara-saudara muslim di Kedutaan bahkan saya ajak makan opor bersama,” kisahnya.

Hampir satu tahun tinggal di Belgia, apalagi bisa merasakan Ibadah Ramadan dan Idul Fitri di sana bagi Ayya merupakan pengalaman yang cukup berharga dan sangat ia syukuri. Selain belajar toleransi dan menghormati, ia mengaku semakin kuat dalam memegang teguh keyakinannya.

Meski tidak ada yang mengawasi tapi Ayya mengaku bisa menjalankan puasa dengan tuntas, setiap waktu salat ia juga selalu menyempatkan diri meskipun di tempat yang sulit mendapatkan air sekalipun. Prinsip itu ia pegang teguh karena sejak kecil ia sudah mendapatkan pendidikan agama, orangtuanya juga kerap mengajaknya diskusi soal agama.

“Prinsipnya jadi diri sendiri termasuk saat saya ditanya mengapa tidak berjilbab dan tidak bercadar. Pertanyaan lain seperti mengapa harus salat, mengapa setelah wudu tidak boleh bersentuhan dengan orang lain saya menjawab apa yang saya tahu dengan bahasa yang mudah diterima, sebab di sana muslim cenderung dianggap sebagai teroris, anggapan itu yang coba saya luruskan,” katanya.

Lutifyah

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya