SOLOPOS.COM - Ilustrasi bisnis prostitusi. (Istimewa/cwtv/dailymail.co.uk)

Penertiban Kalijodo diharapkan tak memukul rata seluruh warga karena tak semuanya terlibat prostitusi.

Solopos.com, JAKARTA — Warga Kalijodo menolak penertiban yang segera dilakukan Pemprov DKI Jakarta di kawasan itu. Alasannya, masyarakat yang menempati kawasan tepi sungai itu bukan hanya PSK dan yang terlibat bisnis prostitusi, tapi ada juga warga asli yang tinggal selama puluhan tahun.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Bukan keberatan atau mendukung, tapi ini sosialisasi tidak ada. Kalau kami masih menganggap anak, ya duduk di sini bicara. Ini ada warga lama yang sudah tinggal 50 tahunan lebih, saya sendiri seniman,” kata Leonard Eko Wahyu, warga Kalijodo, yang diwawancarai via satelit yang ditayangkan TV One, Selasa (16/2/2016) petang.

Dia mengaku sudah biasa tinggal berdampingan dengan aktivitas prostitusi yang selama ini tumbuh di Kalijodo. “Karena kita bangsa Indonesia, melihat keterpurukan ekonomi, ini prostitusi soal pengentasan. Kami sepakat [kalau mau ditertibkan], tapi warga mau diapain?” tanyanya.

Leonard sendiri mengaku bekerja di luar kawasan itu. Hanya, tempat tinggalnya yang berdampingan dengan kawasan lokalisasi prostitusi. “Bagaimana ini? Ini sudah lama berdampingan dengan mereka. Selama mereka cari nafkah, kita biasa ajak. Coba kalau di Dolly, warga biasa enggak? Ya biasa saja,” sambung dia.

“Harus ada pemisahan antara PSK dan warga asli. Saya kerja di luar, tidak ada kaitan dengan kami dari lahir sudah di sini.”

Tak semua penghuni Kalijodo terlibat prostitusi. Ada juga warga yang peduli dengan perkembangan pendidikan anak-anak hingga mendirikan majelis taklim.

Salah seorang warga setempat, Sumiyati, 54, menceritakan kisah anaknya yang bernama Sitri, 39, yang mendirikan tempat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Kalijodo. Jarak tempat tinggal mereka hanya 1 gang dengan kawasan lokalisasi prostitusi. Sejak delapan tahun lalu, Sitri bersama suaminya, Muslim, mendirikan PAUD agar anak-anak setempat mendapat pendidikan yang layak.

“Muridnya ada yang umur 3-5 tahun. Ada juga dua anak yang umurnya 6 tahun,” kata Sumiyati kepada Detik di Kalijodo, Kelurahan Penjagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, Selasa. Sedangkan Sitri dan Muslim sedang ada urusan di luar rumah sehingga belum dapat ditemui.

Kini, PAUD besutan Sitri dan Muslim memiliki murid 30 anak. Murid-murid itu belajar setiap pagi dari Senin-Jumat. Kemudian setiap selepas Magrib, Sitri dan Muslim menggelar majelis taklim hingga Isya. “Kalau lagi masuk semua, yang datang 50 orang. Yang ngaji anak-anak,” kata Sumiyati yang juga terlibat mengurusi majelis taklim tersebut.

Sumiyati yang tinggal di Kalijodo sejak puluhan tahun yang lalu ini awalnya mengaku terganggu dengan suara bising kafe. Namun lama-lama ia dan keluarganya terbiasa. “Tinggal di belakang kafe ya terganggu. Tapi lama-lama terbiasa,” ujarnya.

Namun menurut perempuan asal Gombong, Jawa Tengah, ini, setelah ditertibkan pada 2002, suara bising kafe tak begitu terdengar seperti dulu. Sumiyati mengakui, dahulu aksi premanisme di Kalijodo sangat kuat. Ia bahkan mengaku sering diminta setoran oleh para preman. Namun saat ini sudah tidak pernah lagi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya