SOLOPOS.COM - Warga melakukan aktivitas di kawasan lokalisasi Kalijodo, Jakarta, Jumat (12/2/2016). Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berencana menata kawasan Kalijodo untuk di bangun taman kota atau Ruang Terbuka Hijau serta Stasiun Pengisian Bahan Gas (SPBG). (JIBI/Solopos/Antara/Muhammad Adimaja)

Penertiban Kalijodo membuat riwayat kehidupan malam di sana berakhir, mulai kamar, miras, tisu, dan kondom yang paling laris.

Solopos.com, JAKARTA — Riwayat kehidupan malam Kalijodo berakhir tepat di hari tambahan tahun kabisat disaksikan oleh Leonard Eko. Pria berusia 40 tahun tersebut mengaku sudah tinggal di Kalijodo sejak dua puluh tahun silam.

Promosi Klaster Usaha Rumput Laut Kampung Pogo, UMKM Binaan BRI di Sulawesi Selatan

Lelaki yang akrab disapa Eko ini mengatakan pasrah dengan tindakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang memerintahkan bawahannya untuk membongkar kawasan Kalijodo dan mengubahnya menjadi ruang terbuka hijau (RTH). “Saya enggak mau ngelawan [pemerintah]. Mau tiduran aja di rumah sampai ini selesai,” ujarnya ketika ditemui saat pembongkaran Kalijodo, Senin (29/2/2016).

Dengan pandangan nanar, Leo melihat bagaimana mesin besi berwarna kuning menghancurkan rumah petak yang dia tempati bersama keluarganya selama bertahun-tahun hingga menjadi puing-puing tanpa nilai. Meski bersikap pasrah, dia mengkritik langkah Pemprov DKI Jakarta yang memakai dasar bahwa Kalijodo merupakan lahan hijau yang dikuasai oleh negara.

“Kalau tanah negara ya dikasih pagar dong. Ada plangnya biar enggak diotak-atik. Saya bayar tiap tahun ke Pemprov DKI, jadi enggak ada arti sama sekali,” katanya.

Tak hanya Leo, salah satu warga mengaku yang mengalami kerugian dari penggusuruan Kalijodo adalah Nani. Perempuan berusia 30 tahun tersebut datang dari Yogyakarta ke Kalijodo 17 tahun silam. “Saya punya usaha 25 kamar kosan dan warung kelontong di sini. Sekarang semua habis. Rata dengan tanah,” katanya.

Dia mengaku omzet yang diperoleh dari kos-kosan dan toko kelontong di Kalijodo mencapai Rp10 juta saban bulan. Dengan rincian, biaya sewa kos yang ditarik kepada penyewa berkisar Rp300.000 per bulan per kamar.

Ibu dari dua anak tersebut berseloroh bahwa aset tersebut didapat dari sang suami yang berdarah Makassar. Nani harus melanjutkan usaha tersebut sendirian lantaran suaminya meninggal beberapa tahun lalu.

Ketika ditanya apa yang membuat dirinya terus berbisnis di Kalijodo, dia beralasan karena permintaan jasa yang tak kunjung habis. Menurutnya, penyewa kos-kosan tak terbatas warga Kalijodo, tetapi orang luar daerah. “Barang-barang apa saja laku. Mulai dari tisu mejik, kondom, rokok, itu yang paling laris,” imbuhnya.

Walau kehilangan penghasilan, Nani mengaku tidak meratapi penggusuran Kalijodo secara berlarut-larut. Malah, dia mengaku masih bersyukur atas apa yang didapatnya selama 17 tahun berusaha di sana.

“Enggak sedih. Sudah cukup juga. Saya mau pulang kampung saja ke Yogyakarta. Usaha di kampung memang lebih susah, tapi ya gimana,” tutur Nani.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya