SOLOPOS.COM - Dua peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Wonogiri antre di ruang BPJS di Kompleks RSUD dr Soediran Mangun Sumarso, Wonogiri. Foto diambil, Rabu (12/2/2014).(JIBI/Solopos/Trianto Hery Suryono)

Solopos.com, WONOGIRI–Sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) di Wonogiri merasa dirugikan dengan perubahan layanan kesehatan dari PT Askes menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Mereka mendesak dilakukan revisi sehingga pelayanan yang diterima seperti saat dilakukan oleh PT Askes atau bahkan lebih meningkat.

Salah satu layanan yang dirasa merugikan di antaranya, peserta BPJS tak bisa naik kelas jika opname di RSUD dr Soediran Mangun Sumarso (SMS) Wonogiri, operasi katarak dan operasi usus buntu harus membayar. Pernyataan itu disampaikan beberapa peserta BPJS Wonogiri yang notabene PNS Wonogiri saat ditemui solopos.com secara terpisah, Rabu (12/2/2014).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Yono, PNS lingkungan Pemkab Wonogiri mencontohkan, rekannya yang menderita usus buntu terpaksa membayar biaya operasi senilai Rp12 juta. “Saat ditangani PT Askes, pasien peserta askes tidak ada tambahan biaya alias gratis karena pembiayaan operasi bisa diklaim ke Askes. Tetapi kenapa semenjak berpindah ke BPJS justru layanan tidak semakin baik tetapi mundur dan merugikan.”

Hal sama dialami Chandra, Bambang dan Wiwik. Ketiga mengatakan, saat menjalani opname, pasien peserta BPJS bisa naik kelas. “Cuma waktunya dibatasi hingga tiga hari. Pada hari keempat, pasien peserta BPJS diperlakukan seperti pasien umum dan dikembalikan ke kelasnya. PNS golongan IV memiliki hak di kelas 1, PNS golongan dibawahnya kelas 2 dan kelas 3,” ujar Bambang, pegawai bidang kesehatan.

Bambang menjelaskan, seseorang yang datang berobat pasti memiliki tujuan untuk sehat. “Jika kepastian tempat saja masih membingungkan, apa bisa seorang pasien sembuh dengan cepat? Pengalaman yang ada, seorang dokter baru bisa mendeteksi penyakit seorang pasien apakah termasuk penyakit demam berdarah atau bukan baru pada hari keempat. Jika hari ketiga saja sudah harus berpindah bangsal atau diperlakukan menjadi pasien umum, apa bukan sebaliknya, memperparah penyakit yang diderita?” jelas dia.

Terpisah, anggota DPRD Wonogiri, dr. Ngadiyono mengaku sering mendapatkan keluhan dari peserta BPJS, khususnya para PNS. Diakui oleh politisi asal Giriwoyo ini, bahwa PNS sangat dirugikan dengan perubahan status itu. “Aturan main berbeda dan berdampak pada peserta. Kedua, jenis obat juga berubah dan ketiga klaim obat tak bisa lagi selama sebulan namun sepekan sekali.”

Dicontohkan oleh Ngadiyono, suntikan insulin saat ditangani askes bisa diklai tetapi semenjak ditangani BPJS suntikan insulin membeli. Dia mendesak, adanya revisi regulasi sehingga peserta diuntungkan. Ngadiyono menilai kebijakan yang muncul hanya sepihak sehingga menguntungkan pengelola BPJS. “Peserta mestinya diajak berembuk karena ikut iuran.”

Terpisah, pejabat Humas RSUD dr SMS Wonogiri, Teguh Widodo, mengatakan, BPJS telah meneken perjanjian dengan pengelola RSUD dr SMS Wonogiri. Perjanjian tertuang dalam surat bernomor 400/KTR/VI.06/1213 dan Nomor 14/RSUD/XII/2013. “Dalam perjanjian itu, bangsal yang bisa diklaim adalah bangsal kelas 1, kelas 2 dan kelas 3. Di luar bangsal kelas itu, peserta BPJS yang berpindah bangsal diperlakukan menjadi pasien umum,” jelasnya.

Dikatakannya, peserta BPJS bisa berpindah bangsal setingkat lebih tinggi jika bangsal yang menjadi hak sudah penuh. “Hak menempati bangsal hanya tiga hari.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya