SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Dari 701 total riset yang dilakukan, baru sekitar tujuh sampai delapan persen yang dapat digunakan oleh industri, dari total jumlah ideal 15% hingga 20%.

 

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

 

Harianjogja.com, SLEMAN-Hasil proyek riset inovasi yang dilakukan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti), yang dapat dimanfaatkan oleh dunia industri masih belum optimal. Dari 701 total riset yang dilakukan, baru sekitar tujuh sampai delapan persen yang dapat digunakan oleh industri, dari total jumlah ideal 15% hingga 20%.

Hal tersebut diungkapkan oleh Menristek Dikti Muhammad Nasir pada Selasa (26/4/2016), saat melakukan peninjauan ke laboratorium Eliminate Dengue Project-Jogja (EDP-Jogja), yang dimiliki Universitas Gadjah Mada (UGM). Nasir mengatakan, 701 penelitian tersebut dilakukan sejak 2010 hingga 2014 dan sudah dibiayai dengan dana dari pemerintah hingga triliunan rupiah. Penyebab tidak semua riset ini dapat ‘diindustrikan’ adalah pertama karena waktu penelitian yang panjang. Apa yang sedang diteliti kemudian ketinggalan zaman dan muncul teknologi baru. Kedua, penelitian berbiaya tinggi, hal ini menyebabkan industri tak mau memanfaatkan riset tersebut.

“Jadi hanya beberapa riset yang bisa digunakan industri,” tuturnya.

Melihat kondisi ini Nasir memiliki langkah strategis, bagi setiap perguruan tinggi yang memiliki riset inovasi yang sama paling tidak kemudian membangun jejaring. Riset nantinya bukan hanya dimiliki satu universitas, melainkan menjadi milik Indonesia, namun ada satu universitas yang disepakati sebagai project leader. Ia mendorong UGM dan perguruan tinggi setidaknya bisa mengembangkan riset ke skala industri atau yang bisa disebut manufactory teaching laboratory. Terutama untuk bidang-bidang seperti kesehatan, teknik, informasi teknologi atau material maju.

Tidak kalah penting, imbuh dia, perguruan tinggi di Indonesia diharapkan memiliki fokus bidang dalam melakukan riset. Selama ini biasanya fokus riset akan bergantung pada Sumber Daya Manusia yang dimiliki. Riset yang fokus ini membantu pemerintah lebih mudah mendistribusikan anggaran riset, karena bisa disesuaikan dengan konsentrasi yang dilakukan. Karena anggaran itu juga tidak bisa hanya berasas bagi rata, pemberlakuan asas ini justru tidak menghasilkan apapun. Anggaran riset yang kini dikelola oleh Kemenristekdikti mencapai Rp1,5triliun. Anggaran itu di luar anggaran Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) yang juga mencakup anggaran riset di tiap PTN.

“Misalnya UGM, 27% dari BOPTN dipakai untuk riset. Ini membuktikan kalau anggaran riset kita [Indonesia] tidak sedikit, tapi bagaimana agar anggaran yang ada benar-benar bisa menghasilkan riset inovatif,” ujar Nasir.

Persoalan biaya riset ini, Nasir juga belajar dari Yayasan Tahija yang berkenan membiayai proyek nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia yang dilakukan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Ia memiliki keinginan untuk menghimpun dana riset dari banyak pihak, bukan hanya dari Corporate Social Responsibility perusahaan atau industri saja. Pasalnya anggaran negara untuk membiayai riset sangat terbatas, sehingga pihaknya harus melakukan rekayasa dalam penganggaran dana riset di Indonesia. Penganggaran riset di Indonesia selama ini 76 persen disuplai oleh negara, sangat jauh berbeda dengan Singapura dan Korea yang 80 persen risetnya dibiayai oleh industri. Setidaknya Nasir tetap bersyukur, saat ini jumlah perusahaan atau industri yang mau ikut urun dana penelitian sudah semakin bertambah.

Dalam kesempatan yang sama ia juga menyoroti persoalan yang dihadapi peneliti di Indonesia, yakni kebosanan peneliti disebabkan format penyusunan pertanggungjawaban dana riset. Ia mulai membahas bersama Kementerian Keuangan agar bentuk pertanggungjawaban dana riset bukan lagi based on activity melainkan diubah menjadi based on output.

“Pelaporan pertanggungjawaban dana riset ini dirasa malah lebih sulit daripada melakukan penelitian, itu yang membuat kebosanan terjadi di kalangan peneliti kita di Indonesia. Penelitian kita [Indonesia] pada 2014 ada 5.580 riset untuk publikasi internasional, 4.800 dalam Scopus, jadi sudah ada sekitar 9.000 riset, kami menargetkan bisa menghasilkan 12.000 riset, potensi penelitian Indonesia sangat besar dengan adanya 4.300 perguruan tinggi baik swasta dan negeri,” kata dia.

Sementara itu, Rektor UGM Prof Dwikorita Karnawati mengatakan, sebagai perguruan tinggi negeri yang memiliki target mewujudkan socioentrepreneurship, UGM memang tengah mengembangkan berbagai riset inovatif. Berbagai riset inovatif tersebut menurunya bahkan dibuatkan manuactory teaching industry agar upaya menuju induatrialisasi bisa lebih mudah dilakukan.

“Bagi kami, riset tidak hanya soal kesenangan, tapi juga untuk kepentingan masyarakat dan bangsa. Dan kami sekarang ini sudah memiliki beberapa mini factory berkat bantuan pemerintah maupun swasta. Seperti untuk riset nyamuk ber-Wolbachia ini yang sudah memasuki tahun riset ke-5, kami berharap manfaatnya bisa dirasakan lebih luas lagi oleh masyarakat Indonesia,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya