Solopos.com, JAKARTA - Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, mengatakan pertimbangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melakukan pergantian kabinet dalam bidang ekonomi harus berdasarkan evaluasi bukan karena adanya survei.
Menurut Arya, melalui evaluasi tersebut Presiden bisa segera mengganti menteri yang masih lambat dalam proses pencairan anggaran dan tidak mampu menjalankan program pemerintah secara cepat.
Promosi Pelaku Usaha Wanita Ini Akui Manfaat Nyata Pinjaman Ultra Mikro BRI Group
"Kalau ada menteri yang tidak punya sense of crisis, atau kerjanya lambat, 100% hak prerogratif Presiden untuk mencopot, dan tugas Presiden untuk membereskannya," ujar Arya dalam pernyataan di Jakarta, Rabu (1/7/2020).
Pesawat Garuda Tergelincir saat Take Off di Bandara Hasanuddin
Namun, menurut dia, rencana untuk reshuffle kabinet itu sebaiknya menjadi pembicaraan internal Istana, bukan menjadi konsumsi publik yang bisa menjadi bola liar.
Ia menambahkan saat ini masyarakat lebih membutuhkan adanya efektivitas program untuk mengatasi Covid-19, baik melalui penyaluran bantuan sosial, kartu prakerja maupun berbagai subsidi serta relaksasi.
Sebelumnya Lembaga Survei Arus Survei Indonesia (ASI) pada Jumat (26/6/2020) mempublikasikan hasil survei tingkat kepuasan kinerja para menteri. Salah satu menteri yang menempati peringkat rendah dan mendapat rapor merah adalah Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Eddhy Prabowo.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, menilai salah satu kebijakan yang membuat Menteri KKP mendapat rapor merah adalah ekspor benih lobster. Menurut dia, kebijakan ekspor tersebut masih belum dilakukan transparan, tidak sesuai tata kelola serta merugikan para nelayan.