SOLOPOS.COM - Rektor Unnes, Prof. Dr. Fathur Rokhman, saat menggelar jumpa pers di Ruang Rapat Gedung Rektorat Unnes, Gununpati, Semarang, Senin (19/6/2017). (JIBI/Semarangpos.com/Imam Yuda S.)

Pendidikan di Universitas Negeri Semarang (Unnes) menurut Rektor Prof. Fathur Rokhman terbuka menerima kritik setelah ia membatalkan mengkriminalisasi anak asuhnya sendiri.

Semarangpos.com, SEMARANG — Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) Prof. Fathur Rokhman mengklaim lembaga pendidikan yang dipimpinnya adalah lembaga demokratis yang terbuka menrima kritik. Namun, imbuhnya sebagaimana dikutip Kantor Berita Antara, kritik itu harus dalam kerangka etika akademik.

Promosi BRI Dipercaya Sediakan Banknotes untuk Living Cost Jemaah Haji 2024

“Keran demokrasi dibuka di Unnes, atas kritik dan saran. Bahkan, kritik pedas sekalipun diberikan ruang,” tegasnya di Kota Semarang, Kamis (10/8/2017). Namun, imbuhnya, sebagai lembaga akademik tentu kritik itu harus dalam kerangka etika akademik karena kebebasan berpendapat—baik secara langsung maupun tidak langsung—tetap harus sesuai dengan kerangka tersebut.

Foto piagam bagi Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi M. Nasir yang dibikin untuk mengkritik Uang Kuliah Tunggal (UKT). (JIBI/Semarangpos.com/Dok.)

Foto piagam bagi Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi M. Nasir yang dibikin untuk mengkritik Uang Kuliah Tunggal (UKT). (JIBI/Semarangpos.com/Dok.)

Pernyataan itu dikemukakan Fathur Rokhman berkaitan dengan kriminalisasi dua mahasiswanya. Kriminalisasi itu bermula dari kritik atas uang kuliah tunggal (UKT) yang dilakukan oleh Harist Achmad Mizaki, mahasiswa Fakultas Teknik, dan Julio Belnanda Harianja, mahasiswa Fakultas Hukum, di dinding media sosial mereka.

Keduanya mengunggah foto piagam penghargaan bagi Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi M. Nasir yang diberikan oleh Presiden BM KM Unnes karena telah menciderai asas ketunggalan UKT di perguruan tinggi. Menurut Fathur Rokhman, foto piagan yang diunggah kedua mahasiswanya itu menghina Menristek Dikti M. Nasir.

[Baca juga Emoh Dikritik, Unnes Kriminalisasi Mahasiswa]

“Kata ‘cidera’ itu bermakna negatif, sementara piagam penghargaan itu seharusnya bermakna positif. Kebebasan berpendapat secara langsung maupun tidak langsung dikerangkai norma-norma,” kata lelaki yang menurut Antara adalah seorang guru besar di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) perguruan tinggi itu.

Tak menganggap cukup dengan memberikan nasihat atau menjatuhkan sanksi akademik yang mendidik, pimpinan tertinggi di almamater Harist dan Julio itu justru berkoordinasi dengan satuan pengamanan (satpam) setempat untuk menjerat mereka secara pidana. Caranya adalah dengan mengadukan keduanya ke Polrestabes Semarang.

[Baca juga Unnes Setop Kriminalisasi Mahasiswa]

Fathur Rokhman beranggapan setiap orang harus berhati-hati dalam bertutur kata dan berperilaku di dunia maya, termasuk menyampaikan informasi dan pandangan-pandangan di media sosial. “Jangan menyebarkan, membagikan kebencian, fitnah, dan sebagainya di medsos. Namun, sebarkanlah kebaikan, baik secara langsung maupun lewat medsos,” kata dia.

Diakuinya banyak sebaran kebencian di medsos dilakukan lewat akun pribadi, tetapi ketika sudah di-share secara publik menurutnya sudah menjadi ruang publik yang bisa berpotensi menimbulkan salah tafsir. “Ya, ini menjadi pembelajaran dalam berdemokrasi dan menjadi pembelajaran agar kita semua harus berhati-hati di medsos. Hati-hati dalam mengunggah atau menyampaikan sesuatu di medsos,” pungkasnya.

KLIK dan LIKE di sini untuk lebih banyak berita Semarang Raya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya