SOLOPOS.COM - Upacara bendera di SMAN 1 Kota Semarang. (sman1-smg.sch.id)

Pendidikan di Kota Semarang dibikin heboh oleh tindakan Kepala SMAN 1 Semarang Endang Suyatmi Listyaningsih yang men-drop out atau mengeluarkan paksa dua siswanya.

Semarangpos.com, SEMARANG — Tindakan SMAN 1 Semarang pimpinan Endang Suyatmi Listyaningsih mengeluarkan dua siswa pengurus Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) yang dituduh melakukan penganiayaan terhadap adik kelas mereka dinilai sebagai wujud sikap sewenang-wenang. Aura perlawanan pun menyeruak, barisan penolak pola pendidikan ala SMAN 1 Semarang pun tampak semakin panjang.

Promosi BRI Kantor Cabang Sukoharjo Salurkan CSR Senilai Lebih dari Rp1 Miliar

Paling akhir, siswi korban drop out atau dikeluarkan paksa SMAN 1 Semarang beserta keluarga mengadu kepada anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Jawa Tengah, Bambang Sadono, Rabu (28/2/2018). Sebelumnya, perkara itu sudah dibawa ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) perwakilan Jateng. Selanjutnya, mereka akan mengadu ke mengadu ke Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana Jateng.

[Baca juga SMAN 1 DO 2 Siswa, Ini Alasan Bu Kepsek…]

Ombudsman Jateng telah mengucap komitmen menindaklanjuti perkara itu meskipun tak transparan benar langkah-langkah yang ditempuh. Sedangkan Bambang Sadono langsung mengecam langkah SMAN 1 Semarang. “Anak-anak ini pintar dan potensial, cuma salah mengarahkan. Kalau salah mengarahkan, siapa yang salah? Ya, gurunya. Untuk apa ada guru di situ. Jangan seperti lempar tanggung jawab begitu saja dengan mengeluarkan siswa,” ujar Bambang Sadono menanggapi kisah tragis siswa dan siswi SMAN 1 Semarang tersebut.

Di luar lingkaran itu, muncul pula penilaian negatif atas langkah pimpinan SMAN 1 Semarang tersebut dari Asosiasi Bimbingan dan Konseling (Abkin) yang justru mempertanyakan keberadaan pembina OSIS yang ditempatkan Kepala SMAN 1 Semarang Endang Suyatmi mewakili dirinya mendampingi aktivitas organisasi siswa di sekolah yang dipimpinnya tersebut.

[Baca juga Dikeluarkan Gara-Gara Tuduhan Bullying, Siswi SMAN 1 ke Ombudsman]

“Apa yang dilakukan siswa saat LDK tidak boleh lepas dari pengawasan guru. Guru juga bertanggung jawab penuh mulai awal sampai akhir kegiatan tersebut, tujuannya untuk melakukan pencegahan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan,” kata Ketua Umum Asosiasi Bimbingan dan Konseling (Abkin) Prof. Mungin Eddy Wibowo.

Seperti ramai diberitakan, kegaduhan di lingkungan pendidikan Jateng itu dipicu langkah SMAN 1 Semarang mengeluarkan paksa dua siswa kelas XII. Dua siswa yang semula hanya dipublikasikan dengan inisial AN dan AF karena dianggap sebagai anak-anak pelaku kejahatan itu belakangan dipublikasikan secara terbuka dengan nama Anindya Puspita Helga Nur Fadhil dan Muhammad Afif Ashor. Kedua korban drop out paksa SMAN 1 Semarang itu adalah siswa aktivis yang dilibatkan dalam Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK), kegiatan resmi OSIS sekolah itu, November 2017 silam.

[Baca juga 2 Siswa SMAN 1 Di-DO Gara-Gara LDK, Pembina OSIS Dianggap Lalai]

Kedua siswa yang sebelumnya belum pernah tercatat melakukan pelanggaran tata tertib sekolah itu mendadak memiliki poin pelanggaran yang dianggap SMAN 1 Semarang layak dikembalikan kepada orang tua mereka. Dengan alasan poin pelanggaran yang melebihi batas itu, orang tua mereka pun dipanggil ke sekolah untuk diberi dua pilihan, yakni mundur dari SMAN 1 Semarang tanpa diadukan kepada polisi atau dikeluarkan paksa dari sekolah itu dengan konsekuensi diadukan sebagai pelaku tindak pidana penganiayaan.

Bukan hanya berupaya mengeluarkan paksa dua siswa tersebut, pimpinan SMAN 1 Semarang juga menjatuhkan sanksi skorsing kepada tujuh siswa lain yang juga pengurus OSIS karena terlibat menangani kegiatan LDK OSIS SMAN 1 Semarang, November 2017 silam itu. Merasa diperlakukan tidak adil, orang tua siswa aktivis OSIS yang mendadak jadi pesakitan itu pun melawan dengan membawa persoalan itu ke hadapan publik.

Suwondo, orang tua Anindya Puspita Helga Nur Fadhil, menganggap keputusan sekolah mengeluarkan putrinya sangat tidak adil karena tanpa mempertimbangkan prestasi yang sudah diraih sang anak, apalagi sudah kelas XII yang bersiap Ujian Nasional (UN). “Saya dapat surat dari sekolah pada 5 Februari 2018, besoknya [Selasa, 6/2/2018], saya ke sekolah. Saya sebelumnya tidak tahu apa-apa, tiba-tiba disodori rekaman kegiatan LDK. Dibilang, anakmu menampar. Terus terang, saya shock,” katanya.

Bersamaan dengan itu, kata dia, sekolah menyodorkan draf surat pengunduran diri, tetapi dirinya memnolak menandatangani karena merasa belum meminta konfirmasi kebenaran persoalan itu kepada anaknya, di samping memperhitungkan pula masa depan anaknya. “Sampai rumah, saya tanyakan kepada anak saya. Saya semakin yakin anak saya tidak bersalah dan tidak akan tanda tangan [pengunduran diri]. Besoknya, Rabu [7/2/2018], anak saya masuk sekolah seperti biasa,” katanya.

Secara logika, kata Suwondo yang kesehariannya menjual roti keliling itu, anaknya masih siswa SMAN 1 Semarang karena belum ada pengunduran diri, tetapi ternyata diusir oleh guru yang membuat anaknya menjadi shock. Selain itu, ia mengatakan keputusan sekolah yang mendasarkan akumulasi poin pelanggaran yang berakibat sanksi dikeluarkan dari sekolah tidak adil, sebab akumulasi poin itu didapatkan dari satu kali kegiatan, yakni LDK OSIS SMAN 1 Semarang semata.

“Selama ini, anak saya tidak pernah melakukan pelanggaran. Itu [poin pelanggaran] diakumulasi dari satu kegiatan LDK saja. Saya akan terus perjuangkan nasib anak saya,” tegas Suwondo yang diamini pula oleh Muhammad Shodiqin, orang tua Afif Ashor.

Pada kenyataan kisah tragis Anindya dan Afif Ashor juga menarik simpati orang tua siswa lain yang tak turut menjadi korban kebijakan pimpinan SMAN 1 Semarang. Nugroho Septianto, perwakilan orang tua yang prihatin dengan keputusan sekolah itu, bahkan dipergoki wartawan ikut mengantar Anindya beserta Suwondo dan Muhammad Shodiqin menghadap Bambang Sadono demi mendapatkan keadilan.

Nugroho Septianto mengaku menilai pimpinan SMAN 1 Semarang bersikap sewenang-wenang dengan mengeluarkan siswa tanpa mempertimbangkan nasib siswa yang bersangkutan. “Anak saya tidak ada kaitannya dengan kasus ini. Namun, saya ikut mendampingi, sebagai perwakilan orang tua yang prihatin karena melihat sikap sekolah yang tidak profesional dan sewenang-wenang,” tegasnya.

KLIK dan LIKE di sini untuk lebih banyak berita Semarang Raya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya