SOLOPOS.COM - Muhammad Ivan (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Kedatangan pandemi Covid-19 telah menggeser hal mendasar di berbagai sektor kehidupan, tak terkecuali dunia pendidikan. Ketidakpastian kapan pandemi berakhir berpangkal dari ketidaksiapan kita menerima berbagai perubahan tersebut.

Itulah mengapa meskipun ada kebijakan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM, kasus Covid-19 masih begitu tinggi dan terus bertambah. Wajar dunia pendidikan formal di sekolah dan perguruan tinggi ditutup sementara dan pendidikan melalui sistem dalam jaringan atau daring sementara ini lebih dikedepankan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Jika kembali pada UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah memang menempatkan pendidikan nonformal  atau PNF untuk mengakomodasi keterbatasan pendidikan formal. Sebagai subsistem pendidikan, PNF memiliki peran yang tidak kecil dari pendidikan anak usia dini hingga menyiapkan warga dengan keterampilan baru.

Apapun istilahnya ketika dunia pendidikan tidak lagi berjalan “normal”, saat itulah peran PNF menjadi platform yang tidak dapat diabaikan untuk menopang siswa/warga mengatasi loss learning berkepanjangan yang memiliki multiplier effect pada masa mendatang.

PNF telah menjadi bagian pembicaraan internasional terutama kebijakan tentang pendidikan pada era sebelum tahun 1960 dan akhir tahun 1970-an. Di banyak negara isu PNF menjadi topik-topik khusus yang dianggap sebagai pendidikan yang menjadi pemecah bagi persoalan-persoalan layanan pendidikan masyarakat, terutama masyarakat yang tidak terlayani pendidikan formal.

Sejak deklarasi dunia tentang Pendidikan untuk Semua (Education for All) di Jomtien, Thailand, pada 1990 oleh 155 negara, gagasan community learning center (CLC) di Indonesia dimulai tahun 1997. Selanjutnya Indonesia menyebut CLC sebagai pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM).

Tata Kelola PNF

Kecenderungan menonformalkan pendidikan formal saat ini dilihat dari sisi bisnis tergambar dari beragamnya platform digitalisasi pendidikan yang menawarkan beragam pendidikan dan pelatihan untuk menambah, mengganti, maupun melengkapi apa yang “kurang” dari pendidikan formal.

Kebijakan fantastisnya terlihat dari Kartu Pra Kerja yang mengalokasikan anggaran sekitar Rp20 triliun dengan jumlah penerima 5,6 juta orang. Guyuran anggaran melalui Kartu Pra Kerja kepada platform digital yang baru lahir memang mendapat banyak kritik, bukan hanya dari publik dan akademisi, bahkan dari peserta yang merasakan bahwa keterampilan yang didapatkan tidak memuaskan.

Penilaian itu bukan hanya dari segi waktu pelatihan yang instan, namun juga pengakuan atas sertifikat pelatihan yang patut dipertanyakan. Apapun baik buruknya Kartu Pra Kerja tersebut, PNF yang berada di garda terdepan (akar rumput) seperti sanggar kegiatan belajar (SKB), pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), dan lembaga kursus dan pelatihan (LKP) yang sudah lama eksis seperti terabaikan.

Tata kelola PNF yang berada dalam struktur di Kementerian Pendidikan dan Kebudayan yang menjadi rumah bagi 12.000 PKBM dan 19.000 lembaga kursus dan pelatihan dan sebagiannya berbentuk lembaga pelatihan kerja (LPK) yang berada di Kementerian Ketenagakerjaan untuk mengakomodasi demand side pasar tenaga kerja.

Banyak lembaga pendidikan dan pelatihan tersebut sudah lama mengakomodasi siswa putus sekolah (yang tidak selesai pendidikan menengah) maupun lulusan yang ingin menambah pengetahuan dan kompetensi baru dengan biaya yang sangat terjangkau, bahkan bisa dicicil (karena keterbatasan perguruan tinggi di daerah atau mahalnya biaya pendidikan tinggi).

Perlu Dikawal

Tata kelola struktural ke-PNF-an yang sudah lama berada di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saat ini bernama Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus yang pada periode sebelumnya berada di level (eselon I) bernama Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal.

Nomenklatur direktorat ”pendidikan keluarga” tidak dipertahankan lagi, yang secara program bisa disinkronkan dengan berbagai pihak yang memfokuskan kajian dan pembinaan pada keluarga di masa pandemi ini.

Contoh paling riil dalam membahas potret sosial ekonomi masyarakat yang tercermin dari disparitas pendidikan antara Indonesia bagian timur dan Indonesia bagian barat. Cerminan itu juga terlihat dari pola pikir dan political will yang menempatkan PNF hanya sebagai alternatif, bukan bagian utuh yang setara dan sebangun (tidak lebih tinggi dan tidak lebih rendah), apalagi pada masa pandemi ini tiba-tiba saja pendidikan formal menonformalkan lembaganya dengan adanya “guru kunjung” ke rumah salah satu siswa untuk mengajar karena belum pembelajaran tatap muka (PTM) belum diperbolehkan.

Jika dikaitkan dengan pandemi, patut diduga meningkatnya angka anak tidak sekolah (ATS) jelas akan merugikan daerah itu sendiri. Sebelum pandemi, jumlah ATS ada sekitar 4,3 juta siswa (Bappenas, 2019). Separuh dari 4,3 juta siswa putus sekolah tersebut berada di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Bagaimana dampak dari 4,3 juta siswa putus sekolah tersebut tanpa jaringan komunitas yang kuat di subsistem PNF? Bukankah seharusnya mereka (akademisi, pegiat pendidikan masyarakat, dan pegiat PNF) perlu memikirkan persoalan tersebut dan memutakhirkan berapa banyak dari 4,3 juta siswa yang bisa diselamatkan?

Bukankah biaya dari ketiadaan akses pendidikan dan akhirnya banyak lahir para penganggur baru pada tahun-tahun mendatang akan lebih berbahaya? Tenaga tidak terampil akan membebani perekonomian negara dan menambah angka kejahatan sebagai akibat langsung dari pengangguran (Ivan, 2019).

Misalnya praktik nyata Gubernur Lampung pada 2018  yang langsung mengawal 57.000 anak putus sekolah di Provinsi Lampung agar masuk dalam Program Indonesia Pintar. Dengan memperhatikan tumbuh kembang mereka sejak dini maka akan mengurangi beban pemerintah pada kemudian hari.

Dalam filosofi PNF, yang berada di akar rumput turut menjawab kebutuhan tenaga kerja dan ikut memastikan mereka yang tidak terakomodasi pendidikan formal tidak benar-benar tertinggal. PNF juga bergiat dalam komunitas sehingga praktik sosialisasi dan penguatan interaksi masyarakat semakin kuat.

Secara praksis keberadaan PNF yang berbasis pada penguatan sumber daya manusia lokal dan melahirkan social pedagogy dalam pembangunan sosial akan menguatkan sendi hubungan antara individu dan masyarakat yang mengakomodasi kepentingan anggota masyarakat yang kurang beruntung atau terpinggirkan.

Dengan kata lain, pendidikan seharusnya membuat perbedaan besar bagi kehidupan orang-orang untuk memerangi pengucilan sosial dan mengembangkan identitas sosial yang berdampak pada semakin rendahnya  kesenjangan sosial.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya