SOLOPOS.COM - Suasana ketika sejumlah relawan 1000 Guru Jogja mengajar di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Wonosobo, Tanjungsari, Sabtu (22/8/2015). (Harian Jogja/Uli Febriarni)

Pendidikan Gunungkidul mendapat perhatian dari berbagai pihak, salah satunya relawan 1000 Guru Jogja

Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL – Menjadi relawan dalam bentuk mengajar di salah satu sekolah di pelosok bukan hanya sekedar pengalaman melatih empati. Ini juga menjadi bekal mempersiapkan cita-cita, seperti yang dilakukan oleh sejumlah relawan di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah 1 Banjarejo, Tanjungsari.

Promosi Mendamba Ketenangan, Lansia di Indonesia Justru Paling Rentan Tak Bahagia

Seorang mahasiswi semester akhir Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Surakarta, Febrya Isyana Ros, memilih menjadi relawan sebagai guru sebagai bentuk persiapan menuju cita-citanya sebagai seorang diplomat.

Gadis berjilbab dan berkacamata ini rencananya lulus dari Strata Satu, ia akan mengambil kuliah Strata Dua jurusan Hubungan Internasional.

“Aku ingin bisa menjadi diplomat yang banyak bergerak di bidang pendidikan. Pengalaman seperti aku mengajar sehari di sini justru ingin aku temukan di tempat lainnya, kok ada yang tidak peduli pada para generasi penerus bangsa seperti mereka ini,” ujar perempuan yang masih sibuk mengerjakan Tugas Akhir ini, dijumpai Sabtu (22/8/2015).

Memiliki latar belakang mahasiswa kependidikan, Isyana ingin merasakan keberhasilan mendidik seorang anak sejak awal hingga sang anak didik berhasil ikut berpartisipasi membangun bangsa.

Sementara bagi Dea, Siswa Fakultas Kedokteran Umum Universitas Gajah Mada yang kini juga masi sibuk dengan aktivitas koas, menjadi relawan mengajar bukan hal baru baginya. Ia sendiri aktif menjadi pengajar pada Rumah Singgah Code.

“Meskipun saya berasal dari jurusan kedokteran, tapi juga saya pikir harus mampu juga berpartisipasi bukan hanya dalam kegiatan sesuai latar belakang saya, melainkan juga pendidikan dan lainnya,” paparnya.

Koordinator relawan 1000 Guru Jogja, Sandi mengungkapkan ke depannya para relawan akan diajak untuk mengabdi dan berbagi di sekolah tersebut rutin sebanyak sekali selama sebulan.

“Tujuannya, untuk bisa terus menyemangati anak-anak agar mental mereka kuat untuk tetap maju,” urainya.

Sandi menyebutkan ada sekitar 15 orang relawan yang berasal dari beragam latar belakang seperti mahasiswa, karyawan dan wirausaha yang ikut mengajar. Di samping mengajar dan berbagi, kegiatan 1000 Guru Jogja bertemakan Traveling and Teaching ini dibarengi dengan agenda berjalan-jalan menikmati keindahan pariwisata Gunungkidul.

Dipilihnya MI Muhammadiyah 1 Wonosobo, Banjarejo, Tanjungsari adalah dari hasil survey tim. Sekolah yang berada di tengah pemukiman tersebut dinilai kondisinya sangat memprihatinkan dan kurang perhatian pemerintah.

“Kami berharap kegiatan kami ini juga direspon pemerintah,” ucapnya.

Bangunan sekolah yang dibangun 1987 tersebut, sambungnya, mengalami kerusakan cukup parah dan membahayakan keselamatan para siswa dan gurunya. Dari tujuh ruangan, hanya ada tiga ruangan yang kondisinya cukup baik. Tiga ruangan tersebut yakni ruang kelas V, kelas VI serta ruang kepada sekolah dan guru. Sementara empat di antaranya mengalami kerusakan cukup parah.

Kayu-kayu penyangga atap mulai rusak dan kondisinya miring. Bahkan tiang  penyangga teras sudah bergeser sehingga pihak sekolah terpaksa memasang tiang penyangga darurat sebanyak tiga buah.

Selain itu, kondisi lantai di sejumlah ruang kelas III juga sudah mengelupas sehingga terlihat tanahnya. Sementara dinding penyekat yang memisahkan  ruangan kelas  juga dalam keadaan miring dan bisa roboh sewaktu-waktu.

Keterbatasan anggaran yang dimiliki sekolah tersebut tidak hanya berdampak terhadap bangunan fisik saja. Minimnya dana yang dimiliki membuat sekolah tidak mampu memasang foto presiden dan wakil presiden di seluruh ruang kelas. Foto presiden dan wakil presiden hanya terpampang di ruang guru dan kepala sekolah saja.

Salah seorang siswi Kelas I, MI Muhammadiyah 1 Wonosobo, Isna Putri Solehah mengungkapkan kebahagiaan yang dirasakan dengan kedatangan para relawan. Ia menilai, cara mengajar para relawan jauh berbeda dengan yang ia terima dari guru mereka sehari-hari.

Pasalnya, apabila di hari biasanya mereka duduk diam di dalam kelas, kali ini mereka bisa belajar sambil bernyanyi dan bermain.

“Inginnya mereka masih di sini dulu lebih lama,” tutur si kecil yang tinggal di Melikan, Tanjungsari itu.

Sedangkan salah seorang siswa kelas VI, Muhammad Beni Saputra juga merasakan perbedaan mencolok antara cara mengajar guru dengan para relawan.

“Kalau sama kakak-kakak relawan, misalnya salah menjawab soal tidak dimarahi, tapi dikasih tahu dengan cara halus. Kalau sama bapak atau ibu guru, biasanya dimarahi,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya