SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Rabu (2/1/2019). Esai karya Budi Hartiningsih, guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di SMKN 2 Blora, Jawa Tengah. Alamat e-mail penulis adalah bdhartiningsih01@gmail.com.

Solopos.com, SOLO — Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya budaya. Salah satunya budaya Jawa. Sejak dulu di masyarakat Jawa telah terpatri berbagai falsafah hidup, misalnya aja dumeh, mikul dhuwur mendhem jero, ngono yo ngono ning ojo ngono, nglurug tanpa bala, digdaya tanpa aji, menang tanpa ngasorake, berbudi bawalaksana, dan sebagainya.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Falsafah tersebut lahir dalam masyarakat kuno sehingga masyarakat Jawa sekarang hanya sedikit yang mengetahui makna falsafah tersebut dan terkadang hanya bisa mengucapkan tetapi tidak mengerti maknanya.

Sebenarnya falsafah di atas jika kita pahami ternyata mengandung petuah atau pendidikan yang sangat bagus untuk segala zaman.

Salah satu yang saya bahas dalam esai pendek ini adalah sifat bawalaksana yang artinya menepati apa yang telah dikatakan.

Dalam bahasa Indonesia sama dengan satunya kata dan perbuatan. Untuk menggali nilai-nilai positif budaya lama tidak berarti kita lantas tenggelam dalam kebesaran masa lalu yang melenyapkan semangat juang untuk membangun masa depan yang lebih baik.

Dalam kebudayaan Jawa terdapat banyak nilai positif yang masih relevan untuk masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Tujuan mempelajari untuk membangkitkan dan menggairahkan minat masyarakat agar menengok kembali nilai-nilai luhur kebudayaan masa lalu dan tidak melupakan.

Dalam etika Jawa dikenal ungkapan yang sabda pandhita ratu tan kena wola-wali. Secara harfiah artinya ucapan pendeta dan raja tidak boleh diulang-ulang. Seorang pemimpin harus konsekuen melaksanakan atau mewujudkan apa yang telah diucapkan.

Bawalaksana artinya teguh memegang janji. Ada juga yang mengartikan menepati janji. Nilai bawalaksana memang hanya satu faset kecil dalam khazanah budaya Jawa yang amat luas itu, tetapi betapa pun kecil bawalaksana adalah nilai yang dijunjung tinggi dalam etika Jawa masa lalu.

Nilai ini masih tetap relevan dan perlu digalakkan kembali, terutama bagi para pemimpin. Berpegang teguh pada prinsip bawalaksana memang tidak mudah. Syarat dan taruhannya sering kali cukup berat bagi orang kebanyakan.

Sebenarnya bawalaksana ini bersifat universal. Di mana pun dan kapan pun sikap bawalaksana itu pasti diakui mengandung nilai  yang baik dan perlu dipegang teguh oleh semua orang baik, lebih-lebih oleh mereka yang termasuk pemimpin.

Menjadi Pendidik

Kita sering mendengar kata bawalaksana dalam ungkapan Jawa yang populer, yaitu berbudi bawalaksana. Artinya bermurah hati dan teguh memegang janji.

Menurut mantan Gubernur Jawa Tengah, Ismail, kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang njawani, merakyat andhap asor, bisa mikul dhuwur, mendhem jero, berbudi bawalaksana, ora grusa grusu, ora waton kuwasa, ora mung waton tumindak nanging tumindake mawa waton.

Pendidik sebagai pemimpin yang berbudi bawalaksana artinya orang yang budinya luhur itu selalu bijaksana. Orang yang luhur budinya adalah apa yang menjadi janji pasti ditepati. Suka menolong sesame. Bisa merasakan penderitaan orang lain. Penuh kasih sayang dan selalu rela berkorban.

Para pendidik diharapkan mempunyai sifat berjiwa besar, suka menolong, menepati janji, saling asuh, jujur, dan bertanggung jawab.  Apabila kita bisa membina kehidupan anak didik dan masyarakat yang saling menolong, menepati janji, jujur, dan bertanggung jawab pasti akan membentuk karakter positif pada anak didik  dan masyarakat.

Saling menolong, tenggang rasa, dan saling memercayai adalah faktor penting dalam membina kehidupan masyarakat tenteram dan damai beriklim sejuk. Pendidikan di Indonesia akan berkarakter sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Pendidik di negeri ini diharapkan bisa menjadi panutan atau orang yang pantas diturut, diikuti, dan ditaati. Dengan latar belakang pemikiran itu sebenarnya yang disebut anak didik adalah manusia-manusia yang mudah dikendalikan, digerakkan, dan diperintahkan apa saja, asalkan yang menjadi pemimpin itu menjadi teladan berbuat baik.

Dalam pola pemikiran kita, pemimpin juga guru, tempat anak buah menimba ilmu, pemimpin sebagai panutan yang harus diteladani. Seorang pendidik hendaknya memiliki jiwa/karakter antara aja grusa grusu, artinya jangan sembarang bertindak, jangan gegabah, dan jangan sesuka hati.

Yang dihadapi pendidik adalah manusia yang mempunyai perasaan dan cita-cita. Grusa grusu menimbulkan sifat tinggi hati,  adigang, adigung, dan adiguna; artinya jangan menonjolkan kekuasaan, jangan menonjolkan kedudukan, jangan dan menonjolkan kelebihan.

Waton kuwasa akan menimbulkan waton sulaya di masyarakat. Dalam pembangunan pendidikan yang telah berhasil baik ini kita harus hati-hati karena di sekitar kita masih ada unsur- unsur ekstrem waton sulaya, waton ngomong, waton nyacad, waton maido, menyebar isu-isu jelek.

Aja rumangsa bisa, nanging sing bisa rumangsa artinya jangan merasa dirinya keminter, merasa dirinya paling pandai, merasa dirinya menguasai segalanya, tetapi selalulah bertenggang rasa, menempatkan diri sedemikian rupa sehingga bisa menjadi panutan bagi anak didik dan masyarakat.

Kepala Sekolah dan Guru

Pemimpin dalam dunia pendidikan atau sekolahan mencakup kepala sekolah dan guru. Haruskah seorang kepala sekolah atau guru mempunyai sikap bawalaksana? Tentu harus.  Kepala sekolah atau guru harus teguh memegang janji, menepati yang dikatakan, satunya kata dan perbuatan.



Sekali saja berbuat ingkar janji, wibawa mereka akan merosot. Mereka akan disebut ”jarkoni”, bisa ujar ora bisa nglakoni, maksudnya hanya bisa berkata tapi dia sendiri tidak bisa melaksanakan, tidak ada satunya kata dan perbuatan.

Pemimpin yang demikian tidak dipercaya, kehilangan wibawa dan pengaruh. Jika seorang pendidik bersikap bawalaksana, di hadapan siswa dia akan berwibawa karena dapat dipercaya, tindakannya sama dengan yang dikatakan.

Siswa akan meniru sikap yang gurunya itu, yaitu bawalaksana. Pendidikan di Indonesia akan maju dan berkarakter. Kesimpulannya, bawalaksana memang hanya salah satu dari sifat-sifat baik yang perlu dimiliki oleh seseorang pendidik.

Bawalaksana adalah nilai yang amat dijunjung tinggi dalam etika Jawa masa lalu yang teramat sayang kalau kita sia-siakan. Di dalam dunia pendidikan seorang kepala sekolah dan guru adalah figur pusat sehingga harus bersikap bawalaksana.

Dengan sifat ini seorang guru akan disenangi murid-muridnya karena selain konsekuen, jujur, juga selalu dipercaya oleh siswa-siswanya dan itu berarti guru memberikan pendidikan yang baik kepada siswa berupa penanaman nilai luhur bawalaksana. Tentu masih banyak filsafat Jawa masa lalu yang seharusnya kita lestarikan pada zaman kini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya