SOLOPOS.COM - Dwi Wahyudi (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Ada berbagai tingkah laku para pelajar yang semakin hari semakin memprihatinkan. Contohnya beberapa anak SD merokok saat mereka masih berpakaian seragam. Ada beberapa anak SMP yang menganiaya temannya hingga meninggal.

Anak-anak yang berseragam sekolah dengan sangat cuek merokok di tempat umum. Geng anak sekolah yang berimbas bullying, bahkan kekerasan secara fisik, juga kerap terjadi. Ada anak sekolah yang tanpa malu mengumbar kemesraan dengan pacar.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Kian hari kian berani yang mereka pertontonkan di media sosial. Beberapa waktu lalu ramai diberitakan seseorang yang berseragam sekolah melahirkan pada saat jam pembelajaran efektif. Konon inilah fenomena negatif yang makin sering dijumpai pada generasi Z.

Menghadapi kenyataan yang demikian, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi. Salah satunya peluncuran Kurikulum Merdeka yang memiliki kekhasan penguatan profil pelajar Pancasila. Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter.

Penguatan profil pelajar Pancasila menjadi salah satu ciri khas paling menonjol dari Kurikulum Merdeka. Dalam Kurikulum 2013 juga ada pendidikan karakter sebagai upaya mengatasi lemahnya karakter siswa di Indonesia.

Profil pelajar Pancasila adalah pelajar sepanjang hayat yang kompeten dan mempunyai karakter sesuai nilai-nilai Pancasila. Dengan pendidikan yang baik diharapkan lahir generasi yang memiliki karakter kuat, menjadi manusia unggul dan produktif pada abad ke-21.

Profil pelajar Pancasila memiliki enam dimensi yang salah satunya adalah beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia. Dimensi ini bertumpu pada pendidikan agama. Pendidikan agama memikul peran yang sangat strategis sekaligus berat dalam menanamkan karakter yang kuat kepada generasi  Z.

Harapan besar dari semua pihak ada pada pendidikan agama yang salah satunya diajarkan secara formal di sekolah. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 mengamanatkan setiap peserta didik di setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.

Pendidikan agama harus dilaksanakan di sekolah. Ini diharapkan mampu memperkuat penguatan profil pelajar Pancasila. Dalam pendidikan agama terdapat materi akhlak yang secara eksplisit tertuang dalam materi pembelajaran, bukan hanya diselipkan seperti pada pelajaran yang lain.

Dalam pendidikan agama juga ada materi sirah yang bisa diambil hikmahnya dan ada pula materi Al-Qur’an hadis yang membahas tentang akhlak dan budi pekerti. Selain diajarkan secara formal di sekolah dan masuk dalam kurikulum, pendidikan agama Islam juga banyak dilakukan di luar sekolah seperti madrasah diniah, taman pendidikanb Al-Qur’an, pengajian, dan lain-lain.

Hampir setiap sekolah juga ada organisasi kerohanian Islam atau organisasi siswa intra sekolah (OSIS) yang memiliki subbidang keimanan dan ketakwaan. Banyak sekolah yang organisasi-organisasi ini begitu hidup, dinamis, dan benar-benar menanamkan nilai-nilai keagamaan.

Melihat yang demikian rasanya optimisme melambung agar siswa kelak menjadi orang-orang yang berbudi pekerti luhur dan berkarakter kuat. Ketika regulasi telah mengamanatkan, penguatan profil pelajar Pancasila telah didengungkan, bukan berarti mendidik agama kepada generasi Z ini mulus tanpa hambatan.

Stigma

Ada saja hambatan dan rintangannya. Pertama, masih ada sekolah yang belum memberikan pendidikan agama yang diajarkan oleh guru yang seagama bagi siswanya. Ini artinya porsi siswa untuk mendapatkan pendidikan agama sangat kurang. Kalau siswa tidak mengikuti kegiatan keagamaan di luar sekolah berarti mereka tidak mendapatkan pendidikan agama sama sekali.

Apalagi kalau orang tua mereka juga kurang ilmu agamanya. Ini jelas masalah besar. Meski ada pendidikan akhlak secara khusus yang diberikan di sekolah tersebut, tentu sangat jauh dibanding kalau yang diajarkan adalah pendidikan agama. Hal ini menjadikan nilai-nilai agama jauh dari para penganutnya.

Ketika seseorang jauh dari nilai-nilai agama, semakin besar peluang mereka berkarakter rapuh atau berakhlak kurang baik, meski ada kasus orang yang mendalami agama bertindak yang kurang terpuji.

Kedua, ada berbagai stigma yang disematkan kepada para pelajar yang aktif dalam kegiatan keagamaan. Ini menjadikan semakin sulit menanamkan agama kepada para pelajar. Betapa selama ini isu radikalisme sering sekali dikaitkan dengan kerohanian Islam di sekolah. Ini tentu membuat siswa takut mempelajari dan mendalami agama.

Semakin jauhlah mereka dengan nilai-nilai agama yang dianut. Sering dikaitkannya kegiatan-kegiatan kerohanian Islam dengan radikalisme, ISIS, aliran keras, dan lain-lain membangun pemahaman umum bahwa orang yang mendalami agama seolah-olah semakin radikal, intoleran, beraliran keras, dan lain-lain. Ini tentu sangat menakutkan.

Secara vulgar ada pejabat yang pernah menyampaikan bahwa hendaknya kegiatan kerohanian Islam di sekolah-sekolah diawasi. Stigma radikal dan intoleran ini bahkan kadang sangat mudah disematkan kepada siswa. Ada siswa yang mengidolakan orang-orang tertentu, karena mereka sering melihat di televisi atau media, lantas dikategorikan radikal.

Suka membaca buku-buku karya ulama tertentu dikatakan radikal. Ini tentu semakin menyulitkan penanaman agama kepada generasi Z. Ketiga, ketakutan kalau diajak ke politik atau aliran sesat tertentu. Ini juga menjadi salah satu alasan bagi orang tua melarang anaknya aktif pada kegiatan keagamaan di sekolah.

Bukan hanya orang tua, ada juga pengelola sekolah yang membatasi secara berlebihan kegiatan keagamaan di sekolah. Ini tentu menambah sulit dalam menanamkan nilai-nilai agama kepada siswa. Modernisasi yang terus bergerak pesat memiliki dampak negatif melahirkan generasi Z yang bertingkah laku begitu jauh dari karakter luhur bangsa.

Hal ini perlu diantisipasi. Dalam, menyikapi perubahan percepatan gaya hidup dan tren perilaku siswa pada usia remaja, dibutuhkan wadah untuk mengembangkan potensi yang dimiliki sekaligus menjadi sarana pengembangan bakat yang lengkap dengan penanaman nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya.

Kalau mendidik agama sebagai salah satu pilar penguatan profil pelajar Pancasila bangsa begitu sulitnya, bagaimana generasi negeri ini kelak? Jangan berputus asa. Mari bekerja lebih keras.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 16 November 2022. Penulis adalah guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti di SMAN 1 Wuryantoro, Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya