SOLOPOS.COM - Christianto Dedy Setyawan (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Raibnya ratusan koleksi Museum Negeri Sulawesi Tenggara yang diketahui pada Februari 2021 lalu menyisakan kegetiran yang mendalam. Bangunan yang menyimpan aneka benda peninggalan sejarah tersebut kecolongan besar-besaran.

Tidak tanggung-tanggung, tercatat sekitar 500 artefak hilang, mulai dari koleksi etnologi masyarakat Sulawesi Tenggara seperti masyarakat Buton, Muna, Tolaki, dan Bombana, hingga benda peninggalan era kolonialisme Jepang.

Promosi Mudik: Traveling Massal sejak Era Majapahit, Ekonomi & Polusi Meningkat Tajam

Pembobolan museum tersebut meninggalkan keprihatinan tersendiri mengingat aspek objek yang dicuri sifatnya sukar digantikan. Beberapa pekan sebelumnya kisah serupa juga terjadi di Temanggung. Artefak era Mataram Kuno yang diletakkan di lahan situs makam Pangeran Gagak Baning digondol maling.

Barang koleksi museum dan artefak yang terdapat di situs sejarah berkaitan dengan nilai historis tinggi yang menggambarkan wajah sejarah bangsa ini. Proses penyelesaian kasus pencurian artefak kerap menghadapi tembok tebal yang sulit ditembus.

Ekspedisi Mudik 2024

Riwayat pencurian koleksi museum di Indonesia menyisakan pekerjaan yang masih jauh dari kata selesai. Hilangnya koleksi Museum Nasional, Museum Sanabudaya, dan Museum Radya Pustaka menjadi gambaran kasus yang belum sampai pada titik terang.

Majalah National Geographic terbitan Juni 2016 menuliskan bahwa sepanjang tahun 2007-2016 sedikitnya terdapat sembilan kasus besar seputar penjarahan artefak. Insiden di Sulawesi Tenggara dan Temanggung menunjukkan faktor minimnya tingkat pengawasan, lemahnya sarana pengamanan, hingga relatif abainya masyarakat terhadap keberadaan benda bersejarah,

Semua ini menjadi aspek yang dinilai sebagai faktor utama kemduahan mencuri benda-benda peninggalan sejarah. Hal ini seolah-olah mewakili gambaran secara global mengingat tidak sedikit benda sejarah yang tidak disertai sistem keamanan yang baik dalam peletakan atau penyimpanannya.

Bangsa ini sebenarnya memiliki banyak pengalaman soal penjarahan artefak. Sejarah panjang dari era kolonialisme Belanda memperlihatkan betapa berharganya benda peninggalan sejarah Indonesia sehingga menggiurkan banyak pihak yang kemudian memindahkan atau menjarah.

Perpindahan

Motif Belanda berkuasa di Nusantara pada mulanya memang berkutat di seputar urusan menguasai sumber rempah-rempah. Hal ini tidak terlepas dari slogan imperialisme kuno yang mengutamakan aspek gold.

Seiring berjalannya waktu, bersamaan dengan penguasaan kerajaan-kerajaan di Nusantara beserta wilayah kekuasaannya, bangsa Eropa juga tergiur dengan koleksi benda-benda bersejarah yang dimiliki oleh kerajaan lokal. Pada titik inilah upaya mengambil artefak dan membawa pulang ke Eropa dimulai.

Peter Carey dalam buku Kuasa Ramalan menuliskan bahwa pada era kolonialisme Inggris yang dipimpin Thomas Stamford Raffles penjarahan terhadap harta Keraton Yogyakarta berlangsung selama lebih dari empat hari penuh dengan barang rampasan yang terus diangkut ke keresidenan dengan pedati dan diangkut para kuli panggul.

Yang paling banyak diangkut adalah alat-alat persenjataan, satuan-satuan wayang, gamelan keraton, arsip, dan naskah-naskah. Deskripsi mengenai tragedi Geger Sepehi tersebut ditegaskan oleh Tim Hannigan dalam buku Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa. Ia menuturkan bahwa di seluruh penjuru kota penjarahan terjadi.

Pasukan Inggris mengeruk parit, menghancurkan lemari, menuruni sumur, hingga membongkar lantai agar tidak ada harta karun yang luput dari serbuan. Raffles beserta Robert Rollo Gillespie dan John Crawfurd memimpin pencurian akademis secara massal.

Mereka merampas seluruh isi keraton dan mengambil naskah yang dijilid, tulisan di daun lontar, babad, serta teks yang ditulis dalam bahasa Jawa, Kawi, Arab, dan Sanskerta. Para pangeran dan abdi dalem didapuk menjadi kuli yang mengangkut barang jarahan tersebut.

Terdapat banyak motif yang mendasari aksi penjarahan harta di keraton dan lokasi lain oleh Inggris. Motif ekonomi memang mengemuka mengingat nilai setiap artefak yang tergolong tinggi. Di sisi lain, kesenangan orang-orang Eropa terhadap benda yang bernilai seni dan sejarah juga tidak dapat ditepikan.

Aspek penjarahan guna menyenangkan hati atasan dengan wujud pemberian hadiah berupa artefak pun nyata terjadi. Benda bersejarah diklaim sebagai cenderamata yang bergengsi. Hal ini ditunjukkan oleh riwayat Prasasti Sangguran yang kini teronggok di Roxburghsire, daerah perbatasan Skotlandia dan Inggris.

Batu tersebut berada jauh dari Indonesia karena Raffles membawa prasasti tersebut dari Jawa Timur untuk dihadiahkan kepada atasannya, Lord Minto. Prasasti Sangguran berisi mengenai penetapan Desa Sangguran sebagai sima (tanah perdikan), penjelasan seputar perpindahan Mataram Kuno ke Jawa Timur, serta mencantumkan deretan kutukan bagi orang yang mencabut prasasti dari lokasi aslinya.

Kisah identik juga menimpa Prasasti Pucangan. Prasasti yang berisi tentang masa pemerintahan Airlangga ini berada di India karena Raffles dengan bantuan MacKenzie hendak menghadiahkan prasasti ini kepada Lord Minto.

Di luar konteks penjarahan dalam bungkus invasi, perpindahan artefak oleh tangan-tangan orang Eropa sering terjadi karena faktor kekaguman yang tidak tertahankan. Ini ditunjukkan oleh peneliti kondang Alfred Russel Wallace yang memperoleh relief Durga Mahisasuramardini dari pemberian warga di Mojoagung.

Pada tahun 1736, Frederik Coyett membawa beberapa arca dari Candi Borobudur untuk mempercantik taman tempat tinggalnya. Hal serupa juga dilakukan Gubernur Pantai Timur Laut Jawa, Nicholas Engelhaard. Pada tahun 1804 ia mengambil arca-arca di candi yang kini keberadaannya terlacak di Leiden.

Jika perlu menambahkan contoh di luar tangan penadah orang Eropa, kisah Raja Chulalongkorn dari Siam pada tahun 1896 dapat dijadikan gambaran. Sembilan gerobak bermuatan artefak bernilai tinggi berpindah tangan ke Thailand. Arca Buddha, arca Dwarapala, arca singa, langgam Kala, dan lempengan relief dibawa atas seizin pemerintah kolonial Belanda.

Majalah Tempo edisi 4-10 Mei 2015 memberitakan koleksi prasasti kerajaan Hindu-Buddha yang kini tersebar di Tropenmuseum, Maritiem Museum, Rijksmuseum Voor Volkenkunde, dan RMV (Belanda), British Library dan Lord Minto House (Inggris), Museum Fur Asiatische Kunst dan Museum Fur Volkenkunde (Jerman), Indian Museum (India), serta The Royal Library (Denmark).

Menyelamatkan Sejarah



Upaya untuk menjaga artefak tidak hanya berfokus pada menyelamatkan masa lalu melainkan juga masa depan. Negara yang tidak memiliki sumber sejarah lengkap dapat berujung pada masyarakatnya yang ahistoris. Di tengah masyarakat dapat muncul kesangsian terhadap peristiwa sejarah yang dahulu pernah didengar di bangku sekolah.

Hal yang sama juga rentan memicu orang untuk mengklaim sejarah versi dirinya sendiri. Artefak memegang peranan penting sebab muatan nilai pengetahuan dan filosofi kehidupan yang terkandung di dalamnya bermanfaat bagi perkembangan sumber daya manusia di Indonesia.

Selama ini pemerintah telah berupaya memulangkan artefak yang tersebar di luar negeri. Salah satunya adalah agenda pemulangan Prasasti Sangguran pada tahun 2003 yang difasilitasi oleh Nigel Bullough (seorang Indonesianis dari Inggris) serta ditindaklanjuti oleh tim arkeolog dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Upaya yang berlanjut hingga tahun-tahun berikutnya ini mentok saat ahli waris Lord Minto mematok kompensasi yang sangat tinggi. Menjadi dilematis karena jika pemerintah membayar kompensasi sama artinya kita mengakui Lord Minto adalah pemilik sah dari Prasasti Sangguran.

Merawat artefak negeri ini yang jumlahnya sedemikian banyak memang bukan hal mudah. Proses registrasi, pendataan spesifikasi lengkap, perawatan, hingga pengelolaan memerlukan ketelatenan tingkat tinggi dan biaya besar. Penyediaan area yang tepat juga menjadi fokus utama mengingat tidak sedikit museum atau balai cagar budaya yang overload dalam menampung artefak sehingga terdapat beberapa arca yang diletakkan di halaman dan emperan gedung.

Berkaca dari kasus raibnya koleksi artefak di Sulawesi Tenggara dan Temanggung serta temuan artefak ke tangan perseorangan, niat menjaga dan melestarikan keberadaan artefak wajib dibangun sejak dini. Sebaik-baiknya sistem pengamanan artefak dirancang oleh pemerintah dan masyarakat turut memegang peran penting dalam implementasi.

Peningkatan kesadaran masyarakat untuk turut melindungi dan mengawasi keberadaan artefak berbanding lurus dengan lestarinya artefak tersebut. Dalam posisinya sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid pernah menuturkan dampak hilangnya artefak menyebabkan musnahnya kesempatan generasi muda berinteraksi langsung dengan benda asli peninggalan sejarah.

Jangan sampai semangat cinta sejarah hanya mencuat di awal namun padam kemudian. Edmund Burke pernah berkata sejarah adalah suatu perjanjian di antara orang yang telah meninggal, mereka yang masih hidup, dan mereka yang belum dilahirkan. Oleh karena itu, rawatlah artefak sebagai monumen ingatan perjalanan bangsa yang dapat diwariskan kepada generasi masa depan.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya