SOLOPOS.COM - Lima siswi SD di Kecamatan Sukodono, Sragen, yang menjadi korban percobaan penculikan, Senin (14/11/2016). (Moh. Khodiq Duhri/JIBI/Solopos)

Penculikan Sragen, siswi SD yang nyaris jadi korban penculikan 4 orang bersenjata mengalami trauma.

Solopos.com, SRAGEN — Siswi SD di Sukodono, Sragen,  yang nyaris menjadi korban penculikan oleh sekelompok oang bersenjata awal November lalu mengalami trauma.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Salah satu siswi tersebut, NPH mengaku sudah beberapa hari ini kerap terbangun di malam hari dalam kondisi panik karena mimpi buruk. Dia juga kerap mengigau dalam kondisi setengah sadar.

Bayangan para penculik masih menghantui alam bawah sadarnya. ”Kalau ingat mereka [penculik] sampai sekarang saya masih takut. Saya masih trauma,” kata NPH saat berbincang dengan Solopos.com di sekolahnya, Senin (14/11/2016).

Nadira tidak sendiri. Empat teman sekelasnya yakni ZA, TA, Snd, dan MEW juga masih dibayangi trauma. Bayangan para penculik belum hilang dari ingatan mereka.

Meski mereka bisa lolos dari percobaan penculikan pada Selasa (8/11/2016) lalu, mereka masih dirundung ketakutan yang mendalam. Demi menenangkan buah hatinya, ayah NPH, Ytn, akhirnya pulang dari merantau di Jakarta.

Setibanya di kampung halaman, dia langsung menuju tempat buah hatinya belajar di sekolah. Lima siswi SD itu kebetulan tinggal di satu kampung.

Mereka biasa bermain bersama sepulang sekolah. Main sepeda keliling kampung sepulang sekolah adalah hobi yang sangat mereka gandrungi.

Dengan sepeda itu mereka biasa berangkat dan pulang sekolah. Dengan main sepeda itu, mereka bisa merasakan indahnya dunia anak-anak. Namun, belakangan sepeda itu dibiarkan menganggur di rumah.

Mereka tidak bisa leluasa keluar rumah. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu menonton TV, main boneka, dan belajar di rumah. ”Saya tidak berani keluar rumah untuk main sepeda seperti dulu,” jelas TA.

Sejak percobaan penculikan itu terjadi, sebagian besar orang tua siswa memilih mengantar jemput buah hati mereka ke sekolah. Setelah pukul 12.00 WIB, para orang tua sudah berkumpul di halaman sekolah.

Mereka tidak mau menanggung risiko membiarkan buah hati pulang sendirian dari sekolah. Bahkan, saking khawatirnya, orang tua siswa meminta pelajaran tambahan atau les selama dua jam ditiadakan hingga batas waktu yang tidak ditentukan.

”Les itu biasa dilaksanakan mulai pukul 13.30 WIB hingga 15.30 WIB. Hanya mata pelajaran IPA dan PPKn yang diajarkan dalam les. Sesuai permintaan orang tua, les itu terpaksa kami tiadakan. Kami juga belum bisa memastikan apakah perlu menggelar les untuk siswa kelas VI sebagai persiapan menghadapi ujian pada semester II,” terang Puji Lestari, guru les siswa kelas IV.

Tidak hanya kehilangan kesempatan mengikuti les, beberapa siswa terpaksa tidak mengikuti kegiatan TPA karena takut keluar rumah. Mereka harus melewatkan kesempatan mengenyam pendidikan agama di bangku TPA sebagai modal dasar pembentukan karakter sejak dini.

Saat istirahat sekolah, para siswa kini tak leluasa bermain di halaman sekolah. ”Kami paling suka main kejar-kejaran di luar sekolah. Sekarang, kami tak berani ke luar sekolah. Mainnya pindah di dalam kelas,” papar ZA.

Setelah kejadian itu, kondisi psikis lima siswi itu terus dipantau oleh Wali Kelas IV Sutarno. Melalui Whatsapp (WA), Sutarno selalu meminta informasi terkait perkembangan siswa dari orang tua masing-masing.

”Saya selalu berusaha menguatkan mental mereka. Tiap hari saya minta orang tua selalu mengajak dia berkomunikasi. Namun, rasa traumatik itu belum sepenuhnya hilang. Mereka masih dihantui ketakutan. Sepertinya, kami perlu mendatangkan seorang motivator anak untuk mengembalikan kepercayaan diri anak-anak,” terang Sutarno.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya