SOLOPOS.COM - Alfiah, salah satu karyawan usaha batik di Desa Pilang, Kecamatan Masaran, menyelesaikan pembuatan batik tulis, Rabu (8/1/2014). Di Desa Pilang terdapat sekitar 40 usaha batik. (Taufik Sidik Prakoso/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SRAGEN–Sekitar 50% usaha batik di wilayah Desa Pilang belum terhubung dengan instalasi pengelolahan air limbah (IPAL) terpadu yang ada di wilayah tersebut. Pemerintah desa setempat menegaskan sudah mengajukan bantuan guna pembangunan IPAL.

Kepala Desa (Kades) Pilang, Suwanto, menjelaskan di wilayahnya terdapat sekitar 40 usaha batik mulai batik tulis, batik cap serta batik printing. Usaha-usaha batik itu merata di seluruh dukuh yang ada Pilang. “Pengusaha di sini terus bertambah termasuk generasi muda mulai bermunculan meneruskan usaha orangtua mereka,” jelas dia saat ditemui solopos.com di kantor Desa Pilang, Rabu (8/1/2014).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Suwanto menerangkan dari puluhan usaha tersebut, terdapat 20an usaha batik yang sudah terhubung IPAL terpadu. Pembangunan IPAL itu dibiayai Kementerian Lingkungan Hidup (Kemen LH) dan mulai difungsikan sejak 2013 silam. “IPAL mencakup pengrajin yang ada di beberapa dukuh seperti Dukuh Pilang Lor, Pilang Tengah serta Pilang Kidul,” katanya.

Sementara,usaha batik di dukuh lainnya seperti Dukuh Jati dan Jantran hingga saat ini masih melakukan pencemaran lingkungan dengan membuang limbah ke lingkungan seperti selokan, sawah serta Sungai Bengawan Solo. “Kami baru upayakan dapat bantuan dari Kemen LH. Saat ini kami juga sedang mempersiapkan lokasi untuk pembangunan IPAL yang diusahakan lokasi tersebut tidak bermasalah,” ungkapnya.

Suwanto menjelaskan pembangunan IPAL secara swadaya sulit dilakukan. Pasalnya, biaya untuk membangun satu IPAL mencapai ratusan juta rupiah. “Di samping itu, lokasi masing-masing usaha dari tempat IPAL itu cukup jauh,” jelasnya.

Disinggung upaya lain guna mencegah pencemaran limbah batik, Suwanto menjelaskan sudah ada imbauan terkait penggunaan pewarna alami. Hanya saja, hingga kini belum seluruh usaha batik menggunakan pewarna alami. “Penerapan memangbelum semua menggunakan pewarna alami. Berbeda kalau membeli obat pewarna secara instan bisa langsung digunakan. Sementara, untuk pewarna alami mereka harus cari bahan serta diolah sendiri,” ungkapnya.

Sementara itu, salah satu pengusaha batik di Dukuh Jantran, Krisni, menuturkan saat ini di tempat usahanya sudah menggunakan pewarna alami dari bahan kayu teger. Hanya saja, pihaknya masih menggunakan pewarna kimia. “Pewarna kimia itu lebih menguntungkan karena proses pewarnaan lebih cepat. Sebenarnya dengan pewarna alami itu lebih murah, hanya kalau kami sudah masuk ke target, tidak bisa menggunakan pewarna alami. Karena prosesnya lama,” tuturnya.

Krisni juga mengaku hingga kini tempat usahanya belum terhubung IPAL dan masih membuang limbah ke selokan. “Informasinya tahun ini mau dihubungkan dengan IPAL,” tambahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya