SOLOPOS.COM - Anicetus Windarto (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO — Pencanangan kampung KB (keluarga berkualitas) di Kota Solo belum lama ini menarik untuk diperhatikan. Meski dicita-citakan dapat membawa harapan baru, yang patut untuk dipertanyakan adalah harapan siapakah itu?

Jangan-jangan, sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru, harapannya masih terpaku pada pengawasan dan/atau pengendalian massa dengan memanfaatkan peran pengurus rukun tetangga dan rukun warga atau RT dan RW sebagai media pengontrol.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Hal ini merupakan warisan politik zaman pendudukan Jepang di Indonesia yang dikenal dengan sistem tonarigumi (Aiko Kurasawa, Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945, Komunitas Bambu, 2015).

Penting dicatat pula bahwa makna kampung punya sumber historis yang kuat dan berakar pada penciptaan masyarakat kolonial pada era Hindia Belanda. Karena itulah, kampung bukan sekadar nama yang diberikan untuk suatu wilayah/tempat tertentu.

Kampung adalah bagian dari sebuah megaproyek kolonial untuk sebuah kota yang berseri (bersih, rapi, aman, dan indah). Itulah mengapa dibutuhkan ”kamp-kamp” untuk menampung kaum pribumi yang terpisah atau berada di pinggiran dari kota-kota kolonial tersebut.

Dari sanalah istilah kampung diciptakan sebagai batas/horizon dari mana masyarakat kolonial menampakkan kehadirannya (Rudolf Mrázek, Engineers of Happyland: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni, Yayasan Obor Indonesia, 2006).

Dari dua catatan itu, maka kampung KB bukanlah nama yang tanpa arti. Di sana ada konstruksi yang membentuknya dan memberi identitas bagi yang memakainya. Jadi, nama yang diharapkan pada ampung KB dapat saja menjadi lain pemaknaannya ketika diletakkan dalam konteks sejarah masyarakat di negeri ini.

Hal yang berkaitan dengan kampung maupun KB telah menjadi ingatan kolektif masyarakat dari masa ke masa. Dengan ingatan itulah, masyarakat memaknai dan menghayati apa yang menjadi harapan dari kegiatan/program yang disodorkan bagi mereka.

Maka, daripada terburu-buru mencanangkan, bahkan menjanjikan harapan bagi masyarakat, alangkah baiknya mengkaji ulang apa yang telah terbentuk sebagai pengalaman sehari-hari masyarakat terhadap kampung KB.

Slogan

Hal ini tentu saja membutuhkan kajian lintas ilmu dan budaya yang tidak melulu mengumbar imajinasi tentang istilah itu, tetapi lebih-lebih memperhatikan apa yang menjadi kepentingan masyarakat dan mendesak untuk segera disuarakan.

Berkait dengan masalah KB, sesungguhnya menarik untuk mengamati bagaimana masyarakat membahasakannya dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu acuan yang dapat dipakai adalah sebuah film dokumenter berjudul Riding the Tiger.

Film yang terdiri dari tiga bagian, yakni King and Coolies, Freedom or Death, dan The New Order itu mengisahkan sejarah kehidupan masyarakat Indonesia dari masa kolonial, pendudukan Jepang, hingga Orde Baru.

Film ini disutradarai oleh Christine Olsen dan Curtis Levy dari Australia. Film ini dibuat enam tahun sebelum gerakan reformasi 1998. Dalam salah satu adegan yang menampilkan seorang ibu muda di Yogyakarta, tampak terampilnya sosok penyuluh KB yang juga adalah anggota PKK dalam menangani masalah penggunaan alat kontrasepsi di setiap keluarga.

Keterampilan yang bukan sekadar menunjuk pada sisi profesionalitas belaka, melainkan pada penguasaan atas budaya ”bapak-anak (buah)” itu mencerminkan betapa dahsyatnya kontrol (negara) terhadap masyarakat, bahkan untuk hal dan masalah privat (seksualitas) sekalipun.

Kontrol yang merupakan wujud konkret dari kuasa (negara) itu dapat tampil dalam keluarga lewat kaki tangan kaum perempuan yang dianggap lemah dan butuh pelindungan. Dengan kata lain, perempuan, khususnya dalam sosok seorang ”ibu”, justru menjadi agen dan/atau agensi dari kalangan yang sedang berkuasa dalam konteks budaya yang primordial dan feodal.

Karena itulah, rezim Orde Baru begitu berkepentingan terhadap program/kegiatan KB yang tidak hanya berkutat pada urusan kependudukan, namun juga pada kontrol dan mobilisasi massa yang efektif dan operatif melalui kelembagaan RT/RW.

Tentu mengagas kampung KB dalam konteks revolusi mental atau Nawacita adalah sah dan bisa jadi tak terelakkan. Namun, memperhatikan jejak langkah gagasan itu, khususnya pada era Orde Baru, dengan jeli dan cakap akan membantu dalam meningkatkan kewaspadaan terhadap segala bentuk kepentingan yang melingkupinya.

Harapannya, gagasan itu tidak sekadar menjadi slogan yang bertendensi mengaburkan/menyamarkan perbedaan antara pernyataan dan kenyataan, bahkan antara kata dan perbuatan. Singkatnya, kampung KB tidak semata-mata menjadi program/kegiatan yang bersifat saling mencerminkan dan membuat rikuh.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 28 November 2022. Penulis adalah peneliti di Lembaga Studi Realino Universitas Sanata Dharma Yogyakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya