SOLOPOS.COM - Jurnalis berkerumun di luar ruang kerja Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko yang disegel KPK, Jawa Timur, Minggu (4/2/2018). (JIBI/Solopos/Antara/Syaiful Arif)

Penangkapan Bupati Jombang menjadi sinyal bahwa KPK memantau aksi koruptif yang melibatkan kepala daerah jelang Pilkada 2018.

Solopos.com, JAKARTA — Deret hitung jumlah kepala daerah yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bertambah dengan ditangkapnya Bupati Jombang, Jawa Timur, Nyono Suharli Wihandoko, pada Sabtu (3/2/2018).

Promosi BRI Siapkan Uang Tunai Rp34 Triliun pada Periode Libur Lebaran 2024

Nyono kemudian digelandang ke Jakarta dan tiba di Gedung KPK sekitar pukul 21.15 WIB. Nyono datang bersama tim penyidik KPK.

Penangkapan ini dilakukan sehari setelah KPK menetapkan Gubernur Jambi Zumi Zola sebagai tersangka kasus dugaan korupsi. Selain itu, penangkapan dilakukan setelah KPK menyelesaikan pemeriksaan terhadap 46 anggota DPRD Sumatra Utara periode 2009-2014 terkait dugaan suap pengesahan APBD dan pembatalan pengajuan hak interpelasi mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho.

Dari serangkaian proses hukum yang dilakukan KPK kepada kepala daerah dan anggota DPRD, penangkapan Nyono menjadi pukulan bagi sejumlah partai politik mengingat Nyono adalah bakal calon bupati. Sebagai petahana, Nyono telah mendaftarkan pencalonannya ke KPU Jombang.

Pada 11 Januari 2018, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Jombang meneliti berkas tiga pasangan calon yang telah mendaftarkan diri untuk Pilkada Juni 2018. Berkas ketiga pasangan calon tersebut telah dinyatakan memenuhi syarat dukungan minimal.

Tiga pasangan yang telah mendaftarkan diri, yakni pasangan Mundjidah-Sumrambah. Mereka diusung tiga partai politik, yaitu PPP, Partai Demokrat dan Partai Gerindra. Selain itu, mereka juga didukung Partai Perindo.

Pasangan selanjutnya yang mendaftar adalah Nyono Suharli Wihandoko-Subaidi Muhtar. Pasangan ini diusung lima parpol, yaitu Partai Golkar, PKS, PKB, PAN, dan Partai NasDem.

Pasangan ketiga adalah M Syafiin-Choirul Anam yang diusung dua partai, yaitu PDI Perjuangan dan Partai Hanura. Selain itu pasangan ini juga mendapatkan dukung partai nonparlemen, yakni PKPI dan PBB.

Penangkapan terhadap Nyono ini mengharuskan KPU setempat untuk mengevaluasi tahapan pilkada yang akan dilakukan mengingat Nyono sudah terdaftar sebagai bakal calon bupati. Walaupun secara resmi belum ditetapkan sebagai calon, namun dengan penangkapan itu maka dipastikan Nyono tidak bisa ikut pilkada.

Apalagi KPK tidak mengenal SP3, kecuali Nyono mengajukan dan memenangkan praperadilan. Artinya, peluang untuk bisa keluar dari Rutan KPK adalah memenangkan praperadilan.

Penangkapan terhadap bupati Jombang itu mendapat dukungan dari berbagai pihak. Salah satunya Lingkar Indonesia untuk Keadilan (LINK) Kabupaten Jombang yang mendesak KPK mengusut tuntas dugaan korupsi di kabupaten itu. Koordinator LINK Jombang Aan Anshori mengatakan adanya pejabat yang tertangkap tangan oleh KPK merupakan hal yang buruk bagi sejarah birokrasi Jombang sejak era reformasi.

Sebelumnya, Sekda Jombang ditetapkan tersangka KPK beberapa bulan lalu. LINK mendorong KPK agar tidak cukup puas dengan kinerja yang telah dilakukan tersebut sebab dimungkinkan masih ada beberapa oknum yang terlibat lainnya. Sementara itu, sejumlah pejabat diperiksa di Mapolres Jombang.

Sejumlah ruangan di pemerintah kabupaten telah disegel KPK. Sedangkan di Pendopo Kabupaten Jombang, terlihat sejumlah orang keluar. Namun petugas Satpol PP tidak mengizinkan pihak yang tidak berkepentingan untuk masuk. Orang yang keluar itu ada yang mengenakan identitas KPK.

Meski KPK juga diyakini melakukan pencegahan dan berbagai langkah untuk mengantisipasi terjadinya korupsi di pemerintahan, namun berita penangkapan dan proses hukum jauh lebih menarik perhatian publik. Kini KPK ikut juga memantau pilkada dengan langkah-langkah pencegahan terjadinya korupsi dan jika upaya pencegahan itu tidak dihiraukan, maka dilakukan penangkapan sekaligus sebagai terapi kejut.

Penangkapan terhadap calon dalam pilkada itu sekaligus menjadi peringatan bahwa di dalam pilkada ada KPK. KPK memantau secara lebih detail karena berdasarkan fakta yang ditemukan dalam sejumlah penangkapan kepala daerah jelas ditemukan rangkaian antara biaya-biaya politik dalam pilkada dengan korupsi.

Kini tampaknya KPK juga bergerak dari hulu, yakni proses politik di pilkada. Mungkin hal itu dilakukan karena melihat adanya proses politik yang diwarnai “manuver-manuver” yang mengindikasikan terjadinya korupsi. Misalnya adanya mahar politik dan deal-deal antara calon dengan pihak lain.

Keterlibatan KPK di dalam pilkada secara tegas diakui Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan di Ambon (Provinsi Maluku) pada 30 Januari 2018, tiga hari sebelum penangkapan terhadap Nyono. Bukan hanya memantau dan mengintai, KPK justru memprogramkan penyelenggaraan pilkada, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota tanpa ada praktik korupsi.

Karena itu, selayaknya penyelenggara dan pengawas pilkada, calon kepala daerah, tim sukses, donatur calon serta pendukung menyadari bahwa gerak dan manuver-manuvernya dipantau KPK. Mata dan telinga KPK ada di semua sisi penyelenggaraan pilkada.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya