SOLOPOS.COM - Ilustrasi HIV/AIDS (ghanahealthnest.com)

Solopos.com, SOLO—Kebijakan pendanaan mandiri dalam penanggulangan HIV/AIDS yang diberlakukan mulai 2015 membuat Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Solo was-was. Lepasnya bantuan lembaga donor dikhawatirkan menghambat perawatan penderita HIV/AIDS.

Pengelola Program KPA Solo, Tommy Prawoto, saat ditemui Solopos.com di Balai Kota Solo, Selasa (3/12/2013), mengatakan Global Fund (GF) selaku lembaga donor mengindikasi penghentian bantuan di seluruh Indonesia mulai 2015. Padahal, kucuran dana lembaga bentukan PBB tersebut menjadi penyokong utama penanggulangan HIV/AIDS, tak terkecuali di Solo. “Hal ini harus benar-benar diantisipasi,” ujarnya.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Informasi dari KPA Solo, GF menggelontor dana Rp200 juta per tahun untuk biaya sosialisasi hingga penanganan HIV/AIDS. Pemkot sendiri baru mengucurkan bantuan mulai 2010 dengan kisaran sebesar Rp75 juta-100 juta setahun. Dengan kondisi tersebut, Tommy menilai Pemkot harus benar-benar berkomitmen mendukung penanganan HIV/AIDS. Tak hanya pencegahan, melainkan juga penyediaan biaya pengobatan virus yang telah menjangkiti 225 warga Solo itu. “Sekali terapi, pengidap HIV/AIDS butuh dana Rp600 ribu-Rp1,5 juta. Hal ini tentu sulit jika dibiayai sendiri,” ucapnya.

Sementara itu, Sekretaris KPA Solo, Harsoyo Supodo, mengatakan dana gabungan lembaga donor dana Pemkot pun sebenarnya belum cukup untuk perawatan hingga pemaparan informasi HIV/AIDS. Namun, pihaknya menyambut baik inisiatif Pemkot yang telah mendeklarasikan warga peduli AIDS (WPA) di 51 kelurahan. Menurutnya, keberadaan kelompok itu dapat mengurangi beban penanggulangan HIV/AIDS di lingkungan warga. “WPA ini berfungsi memberikan informasi HIV/AIDS hingga akar rumput. Sehingga ketika dana GF ditarik, ilmu mengenai HIV/AIDS sudah membumi,” ucap lelaki yang akrab disapa Yos ini.

Yos menambahkan WPA bakal bergerak di pertemuan yang difasilitasi PKK, Posyandu, RTRW, PLKB hingga arisan warga. Yos menyebut dana operasional WPA diambil dari 5% anggaran pembangunan kelurahan nonfisik setiap tahun. Sedangkan dana rutin Rp100 juta per tahun salah satunya akan digunakan untuk melatih para WPA tersebut. “Jika diseriusi, WPA bisa menjadi agen yang mumpuni untuk HIV/AIDS. Tidak perlu bikin lembaga baru.”

Pegiat HIV/AIDS dari LSM Mitra Alam, Yunus Prasetya, membenarkan permasalahan dana sedang menjadi isu hangat di kalangan pegiat HIV/AIDS. Menurut Yunus, Pemkot wajib membuat strategi yang terarah sebagai antisipasi. “Jangan sampai ketika dana ditarik, sejumlah program HIV/AIDS terhenti,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya