SOLOPOS.COM - Ilustrasi (Endang Muchtar/JIBI/Bisnis Indonesia)

Penambangan liar di Boyolali, tepatnya di Karangkendal, Musuk, berbuntut teror.

Solopos.com, BOYOLALI — Penambangan liar yang muncul di Desa Karangkendal, Kecamatan Musuk, Boyolali, yang berujung teror, benar-benar di luar kehendak warga setempat. Awalnya, desa itu bukan lokasi tambang dan hanya menjadi akses yang menghubungkan jalan raya dengan lokasi tambang di desa lain.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Karangkendal, Iban Banarto, menceritakan awal mula munculnya penambangan liar di Dusun Jurang Dakon, Karangkendal, Musuk. Menurut dia, tanah di kawasan tersebut awalnya hanya akan dikepras untuk akses jalan yang menghubungkan penambangan di Desa Lanjaran ke jalan raya. Baca: Tolak Tambang Liar, Warga Karangkendal Boyolali Diteror.

Namun pada realisasinya, penambangan melebar sampai tanah milik warga dan tanah ara-ara. “Awal kesepakatan bukan untuk ditambang tetapi hanya membuka akses jalan. Lantaran jalan melewat tanah ara-ara, kami BPD minta pemdes membuat kebijakan soal kompensasi.”

Saat itu, disepakati kompensasi dari kontraktor uang senilai Rp5.000 per rit untuk RT, RW, pamong, dan penjaga. Untuk tanah di luar tanah yang dipakai untuk akses jalan, warga juga membeberkan adanya kompensasi 40% dari hasil penambangan. “Tetapi sampai tiga tahun ini uang kompensasi itu belum pernah ada laporannya,” kata Iban.

Sementara itu, Kades Karangkendal, Slamet Sumarno, belum bisa memberikan klarifikasinya kepada warga karena sakit dan harus dirawat di rumah sakit.

Sebelumnya, warga Desa Karangkendal, membeberkan beberapa kerugian akibat penambangan liar di Dusun Jurang Dakon. Penambangan tersebut mengepras sejumlah tanah ara-ara dan tanah milik warga tanpa ada kompensasi yang layak. Seorang warga Dusun Karangkendal, Desa Karangkendal, Suwandi, 42, mengatakan dia sudah bertahun-tahun mengelola tanah ara-ara seluas 2.000 meter persegi.

“Itu tanah ara-ara sejak zaman nenek moyang, sudah turun-temurun. Sebelumnya saya bisa memanfaatkan tanah itu untuk menanam jagung, lombok, ketela, dan sengon. Tiga tahun yang lalu tiba-tiba dikepras katanya untuk jalan,” kata Suwandi.

Setelah tanahnya dikepras dengan alat berat, Suwandi hanya menerima kompensasi Rp3 juta. Nilai kompensasi ini jauh dari kontrak yang disepakati Pemerintah Desa (Pemdes) Karangkendal dengan kontraktor. Saat itu, Suwandi menerima informasi dari Kades Karangkendal, Slamet Sumarno, bahwa tanah ara-ara milik Suwandi dikontrak dua tahun dengan nilai Rp24 juta. “Yang Rp4 juta untuk ganti rugi tanaman. Tetapi sampai saat ini saya baru terima Rp3 juta.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya