SOLOPOS.COM - Salah satu bukit karst di Dusun Bedoyo Kulon, Ponjong, yang sempat menjadi lokasi pertambangan sebuah perusahaan tambang, Sabtu (10/9/2015). (Harian Jogja/Uli Febriarni)

Penambangan karst di Gunungkidul dihentikan, penambang minta solusi karena hidup serba kekurangan

Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL-Warga yang menjadi buruh pertambangan batu karst meminta solusi dari pemerintah atas berhentinya aktivitas pertambangan, yang mengakibatkan mereka dirumahkan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pasalnya, sejak mereka tidak lagi bekerja di perusahaan pertambangan, mereka harus terpaksa hidup serba berkekurangan.

Diungkapkan oleh Kepala Dusun Bedoyo Kulon, Siyarno, pada Sabtu (10/9/2015). Warga di Bedoyo Kulon sendiri, terdiri dari 136 Kepala Keluarga (KK), dengan 575 jiwa penduduk.

Sebanyak 75% di antaranya menggantungkan hidup dengan bekerja sebagai buruh tambang, baik buruh kepada empat perusahaan tambang kecil, dan dua perusahaan tambang skala besar. Sebanyak 25 persen sisanya, bekerja sebagai karyawan, petani, Pegawai Negeri Sipil.

“Sudah sejak lama warga kami bergantung pada tambang. Dengan terhentinya operasi perusahaan tambang, banyak dari mereka kehilangan pekerjaan,” jelasnya.

Sejak Pemerintah Kabupaten Gunungkidul tegas melarang pertambangan, karena banyak perusahaan tambang yang beroperasi tanpa izin, sudah sekitar enam bulan para lelaki buruh tambang di dusun itu sama sekali tidak lagi beraktivitas di pertambangan. Meski demikian, sejumlah di antaranya ada yang bekerja sampingan sebagai tani, buruh tani, hingga merantau ke luar daerah.

Beberapa dari mereka, juga ada yang bertahan untuk menyelesaikan stok-stok batu yang belum dipotong, atau mengolah bongkahan menjadi tepung batu.

“Mereka jelas merasakan pendapatan menjadi turun drastis, kalau untuk buruh perusahaan tambang besar, jelas sudah ada stok untuk dikerjakan. Kalau perusahaan kecil, mereka sama sekali tidak lagi bekerja di perusahaan tambang olah batu,” terangnya.

Ditemui di kediamannya, Siyarno menerangkan, warga juga sesungguhnya mengetahui bahwa karst adalah salah satu kekayaan alam yang harus dilindungi. Meski demikian, mereka terbentur desakan kebutuhan ekonomi, karena karst yang ada di wilayah geografis Ponjong sebelah timur, satu-satunya yang menjadi harapan mereka menggantungkan hidup.

Disinggung terkait aturan pelestarian karst, Siyarno menyebut, warga sangat membutuhkan ketegasan pemerintah dalam hal menyosialisasikan secara terbuka kepada warga, kawasan karst yang boleh ditambang dan kawasan yang boleh ditambang.

“Seandainya di sini memang ada gunung karst yang tidak boleh ditambang, setidaknya pemerintah memberikan solusi bagi warga yang kehilangan mata pencahariannya,” harap Siyarno.

Dalam kesempatan berbeda, salah seorang warga Dusun Bedoyo Kulon yang bekerja di salah satu perusahaan tambang, yakni Sarju menyebutkan, pendapatan yang ia terima sebagai petani sangat jauh berada di bawah pendapatan yang ia terima ketika menjadi pegawai tambang.

Meski ia bekerja di perusahaan tambang skala kecil, namun perusahaan memberikan gaji kepadanya mendekati Upah Minimum Kabupaten Gunungkidul. Sementara, setelah ia dirumahkan karena perusahaan tidak beroperasi, Sarju menjadi petani.

Pendapatan yang ia terima, selain tidak memiliki jadwal pasti, juga dirasa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang semakin tinggi.

Sarju mengetahui betul pemerintah memiliki aturan mengenai kawasan karst yang boleh ditambang dan tidak boleh ditambang. Hanya saja ia meminta pemerintah menyosialisasikannya dengan jelas kepada warga.

“Saya usul, untuk kawasan gunung karst milik pribadi itu boleh ditambang, kan pemiliknya sudah membayar pajak tiap tahun. Sehingga kami yang hanya buruh pengolah batu ini, bisa beraktivitas kembali,” usul Sarju.

Lelaki berusia 59 tahun itu menyebut, kalaupun pemerintah sudah memiliki aturan yang jelas dan tegas kaitan pengolahan gunung karst, warga juga harus diberi solusi yang tepat dan meringankan beban mereka. Misalnya saja memberikan pekerjaan dengan hasil yang setimpal, dengan hasil yang setidaknya setara dengan ketika mereka menjadi buruh tambang.

“Kalau bisa saya sambil mencari pekerjaan lain, tapi kalau tidak bisa, apa boleh buat. Hanya bisa menjadi petani, padahal petani itu musiman, hasilnya tidak seberapa,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya