SOLOPOS.COM - Ilustrasi Penambangan (Dok/JIBI/Solopos)

Uang atensi yang dimaksud adalah “upeti” yang diberikan kepada aparat.

Harianjogja.com, SLEMAN- Penambangan pasir ilegal yang menggunakan alat berat di wilayah Cangkringan, tidak lepas dari adanya uang atensi yang diberikan kepada sejumlah orang berpengaruh. Uang tersebut diberikan agar aktivitas tersebut bisa beroperasi.

Promosi Enjoy the Game, Garuda! Australia Bisa Dilewati

Berdasarkan informasi yang diterima Harian Jogja, saat ini harga satu rit pasir dan batu (sirtu) dipatok Rp600.000/rit. Harga tersebut merupakan hasil dari penjumlahan biaya operasional yang dikeluarkan oleh pengelola tambang. “Hara jual aslinya sebenarnya masih bisa ditekan. Harga Rp600.000 perrit itu sudah termasuk biaya lahan Rp150.000, sewa alat berat Rp130.000 dan uang atensi. Sisanya baru milik pengelola,” kata salah seorang warga Kinahrejo, Cangkringan, Kamis (13/10).

Uang atensi yang dimaksud adalah “upeti” yang diberikan kepada aparat nakal. Besarannya Rp175.000/rit. Di wilayah tersebut, setidaknya ada tujuh alat berat yang beroperasi secara ilegal di luas lahan sekitar 1,5 hektare. Dalam satu hari, satu alat backhoe mampu melayani permintaan 20 rit atau truk pasir. “Kalau dikalikan tujuh alat berat, sehari bisa sekitar 150 rit yang keluar dalam satu hari. Bisa dihitung berapa uang atensi yang diberikan. Sekitar Rp26 jutaan,” katanya.

Warga berharap agar penambangan pasir menggunakan alat berat tersebut dihentikan. Pasalnya, selain melanggar aturan penggunaan backhoe dikhawatirkan merusak lingkungan di sekitar tambang. “Kalau dibiarkan, kami kawatir aktivitas itu merusak lingkungan. Sebab banyak titik lokasi di Umbulharjo yang rawan longsor,” kata Kepala Desa Umbulharjo Suyatmi saat dihubungi Rabu, lalu.

Sekadar diketahui, penambangan dengan alat berat itu terjadi di beberapa titik. Di Umbulharjo, terdapat tiga titik penambangan menggunakan backhoe. Mulai Dusun Ploso Kerep, Gondang dan Tangkisan. Adapun di Desa Kepuharjo, terdapat tiga alat berat yang beraktivitas di sekitar Petung. Aktivitas serupa juga berlangsung di Desa Glagaharjo, yakni di Dusun Glagah Malang dan Singklar.

Sementara itu, Kepala Dinas Sumber Daya Air Energi dan Mineral (SDAEM) Sleman, Sapto Winarno menambahkan, timbunan pasir di wilayah Lereng Merapi berperan untuk menahan arus air permukaan. Jika mineral di lokasi tersebut terus diambil, dikhawatirkan menimbulkan kerusakan lingkungan dan erosi. “Sebenarnya penambangan liar di lereng Merapi sangat berbahaya. Selain mengancam kelestarian lingkungan, aktivitas tersebut juga berbahaya bagi penambang sendiri,” kata Sapto.

Menurutnya, tak jarang penambang malah terseret banjir lahar hujan saat melakukan aktivitas pengerukan pasir. Berdasarkan beberapa pertimbangan seperti melanggar aturan konservasi dan resiko yang ditimbulkan, Dinas SDAEM terus melakukan pengawasan. Pengawasan tidak hanya dilakukan di penambang pasir daerah aliran sungai (DAS) tetapi juga di wilayah pekarangan.

Pihaknya mengaku memiliki data beberapa lokasi penambangan liar di Cangkringan. Hasil pengawasan sudah disampaikan ke Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air dan Mineral (PUSDAEM) DIY. “Kami sudah sampaikan ke provinsi. Seharusnya segera ditindak. Masyarakat telah melakukan penyegelan jalur angkutan pasir untuk menghentikan aktivitas penambangan ilegal itu, tapi tetap berlanjut sampai sekarang,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya