SOLOPOS.COM - Aktivitas penambang pasir di Sungai Progo, tepatnya di kawasan Lendah, Kulonprogo. Foto diambil dari Desa Trimurti, Srandakan, Bantul, Selasa (11/8/2015) siang. (Harian Jogja-Arief Junianto)

Penambangan di Bantul masih menimbulkan polemik. Antara penambang tradisional dan penambang sedot pasir saling tuding

Harianjogja.com, BANTUL– Ratusan penambang pasir tradisional di Sungai Progo yang melintasi Kecamatan Srandakan mendesak pemerintah DIY agar tidak dengan mudah mengeluarkan izin bagi penambang skala besar yang menggunakan mesin penyedot.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kelompok penambang tradisional di Dusun Klurahan, Desa Poncosari, Srandakan menyatakan, menolak keberadaan tambang modern yang marak beroperasi di sepanjang Sungai Progo itu. Pasalnya, kata dia, tambang tersebut merugikan warga sekitar termasuk kelompok tambang tradisional yang tinggal di dekat Sungai Progo.

Ekspedisi Mudik 2024

“Selain jalan rusak, air sumur juga berkurang. Daya rusaknya luar biasa, lihat contoh Kali Brantas yang pada rusak parah karena penyedot pasir,” ungkap Sayadi salah seorang penambang tradisional ditemui Jumat (14/8/2015).

Karenanya ia meminta Pemerintah DIY berhati-hati mengeluarkan izin tambang modern tersebut. Pemerintah menurutnya harus berdialog dengan warga setempat sebelum menerbitkan izin. “Tanya dulu ke masyarakat setempat jangan sebebas-bebasnya mengeluarkan izin,” papar dia.

Bila pemerintah mengobral izin, warga siap berhadapan dengan para penambang modern tersebut. Ia juga membantah bahwa penolakan warga tersebut karena persaingan bisnis antara penambang modern dan tradisional.

“Kalau mau kami juga bisa membeli mesin penyedot pasir. Tapi kami enggak mau karena dampaknya terhadap lingkungan,” lanjutnya.

Penambang lainnya, Wakidi mengatakan, penambangan di Sungai Progo lebih cocok dilakukan oleh penambang tradisional. Selama puluhan tahun, kelompok penambang Dusun Klurahan yang berjumlah 150 orang itu diklaim tidak pernah merugikan lingkungan. “Karena kami menambang pakai alat manual pakai tangan. Selama ini enggak masalah,” ujarnya.

Sementara itu salah satu pengurus paguyuban penambang modern di Dusun Nengahan, Desa Trimurti, Srandakan, Gandung membantah penambangan pasir dengan mesin penyedot merusak lingkungan. Justru kata dia, penggunaan mesin tersebut membantu normalisasi sungai. “Karena menggunakan alat penyedot itu di tengah sungai, sehingga sungai jadi dalam,” jelasnya.

Menurut dia, keberadaan penambang tradisional yang ditengarai merusak lingkungan. “Karena mereka itu menambang di pinggir sungai enggak beraturan, sehingga abrasi makin lebar. Kalau kami kan di tengah. Selain itu penambang tradisional itu tempat menambangnya sembarangan mau di bawah jembatan atau di mana saja jadi bahaya,” tegasnya.

Gandung menyebut, penambangan pasir menggunakan satu mesin penyedot dalam sehari mampu menghasilkan lima hingga sepuluh truk material. Mulai Jumat (14/8/2015), aktivitas penambangan dengan mesin penyedot pasir itu kembali beroperasi setelah sebelumnya sempat dihentikan petugas.

Menyusul keputusan Pemerintah DIY memberi waktu 40 hari bagi penambang untuk beroperasi dan menyelesaikan berbagai perizinan. Kebijakan itu dikeluarkan pemerintah, setelah ratusan penambang modern berdemonstrasi di Kantor Gubernur DIY pada Kamis (13/8/2015).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya