SOLOPOS.COM - Sebuah crane milik PT Bima Agung Semarang tenggelam di perairan WKO saat digunakan membangun Jembatan Barong di Desa Pendem, Kecamatan Sumberlawang, Sragen, Sabtu (18/3/2017). (Tri Rahayu/JIBI/Solopos)

Pemkab Sragen terancam digugat oleh LSM jika membayar rekanan Jembatan Barong.

Solopos.com, SRAGEN — Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pusaka Nusantara Bumi Sukowati (PNBS) Sragen mengancam menggugat Pemkab Sragen ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Hal itu dilakukan bila Pemkab Sragen berani membayar pekerjaan pembangunan Jembatan Barong, Sumberlawang, Sragen, setelah berakhirnya masa perpanjangan 50 hari. Pembayaran pekerjaan setelah masa addendum IV berakhir 17 Februari 2017 itu tidak ada dasar hukum yang mengikat dan berpotensi memunculkan masalah hukum di kemudian hari. (Baca: Force Majuer, Kontraktor Jembatan Barong Bebas dari Denda)

Pemkab sudah mengalokasikan anggaran Rp1,8 miliar lewat APBD Perubahan 2017 untuk membayar kontraktor proyek tersebut atas pekerjaan lanjutan Jembatan Barong setelah 17 Februari 2017. Selain membayar pekerjaan proyek itu, Pemkab sekaligus menarik denda atas masa perpanjangan selama 50 hari senilai Rp735 juta yang hingga kini belum dibayarkan oleh kontraktor pelaksana.

Rencana gugatan ke PTUN itu disampaikan Ketua LSM PNBS Sragen, Ujang Nuriyanto, dalam jumpa pers di Angkringan 77 Sragen Manggis, Sragen Wetan, Sragen, Kamis (12/10/2017) siang. Ujang menyampaikan analisis yuridis atas pembangunan Jembatan Barong Tahap II.

Ujang mendapatkan data lengkap terkait proyek Jembatan Barong Tahap II itu dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bernomor 39C/LHP/XVIII.SMG/05/2017.

Proyek jembatan penghubung ke kompleks wisata religi Gunung Kemukus itu, kata Ujang, memakan waktu 240 hari terhitung sejak surat perintah mulai kerja (SPMK) keluar pada 26 April hingga akhir kontrak 21 Desember 2017.

“Pada proses pengadaan, Pokja ULP [unit layanan pengadaan] menjelaskan curah hujan yang tinggi yang berdampak pada tingginya elevasi WKO [Waduk Kedung Ombo] tidak termasuk kriteria kondisi bencana alam. Dalam pelaksanaanya hingga akhir kontrak ternyata realisasi pekerjaan baru 83,01% sehingga dana yang dibayarkan hanya Rp12.202.953.300. Tetapi rekanan mengklaim selama 33 pekan (10 Desember 2016) pekerjaan mencapai 84,72% padahal dalam laporan mingguan baru tercapai 77,05%,” ujarnya.

Dia menyampaikan Peraturan Presiden No. 54/2010 Pasal 9 ayat (1) membolehkan adanya perpanjangan waktu selama 50 hari kalender lewat adendum IV, yakni pekerjaan diperpanjang sampai 17 Februari 2017. Setelah perpanjangan waktu yang berisiko terhadap denda 1/1.000 kali nilai pekerjaan per hari itu, kata Ujang, proyek tetap tidak selesai. Hasil pekerjaan per 11 Maret 2017, ungkap dia, hanya mencapai 81,91%.

“Setelah itu muncul yang namanya kahar [force majeure] dengan alasan kenaikan elevasi WKO. Saya tidak menemukan lembaga mana yang menetapkan kahar. BPBD [Badan Penanggulangan Bencana Daerah] melaporkan adanya bencana tanah longsor sepanjang Januari-Maret 2017 bukan bencana akibat elevasi WKO,” imbuhnya.

Dengan alasan kahar itulah, ujar dia, proyek tetap dilanjutkan tanpa dasar hukum yang jelas, seperti surat perintah kerja atau adendum V. Dia menyampaikan LHP BPK hanya menyebut adendum hanya sampai IV.

“Namun Pemkab tetap akan membayar pekerjaan tersebut. Sampai sekarang pekerjaan itu belum diserahterimakan meskipun sudah diresmikan Bupati. Atas dasar itulah, kalau Pemkab tetap membayar Rp1,8 miliar, kami menggugat ke PTUN. Kami tidak terima dengan pembayaran pekerjaan yang tanpa dasar yang jelas,” imbuhnya.

Sementara itu, Sekretaris Daerah (Sekda) Sragen Tatag Prabawanto saat ditemui wartawan menyampaikan perpanjangan waktu setelah 17 Februari 2017 itu disebabkan adanya sesuatu yang sifatnya di luar kemampuan sehingga muncul kahar. Sekda menyatakan buktinya setelah diaudit BPK ternyata tidak ada masalah dan tidak ada temuan dalam LHP BPK.

Rekomendasi BPK hanya meminta denda dari rekanan Rp735 juta itu supaya segera dibayarkan.
“Sisa pekerjaan yang dikerjakan itu tetap dibayar. Nilainya Rp1,8 miliar. Anggarannya ada di APBD Perubahan 2017. Siapa bilang tidak ada dasar hukumnya. Silakan mempelajari dasar hukumnya dulu. Yang jelas dari audit BPK sudah kelar. Pemkab sudah memenuhi kewajibannya. Kalau pekerjaan itu nanti sudah dibayarkan ya otomatis dendanya dibayarkan. Kan tinggal dipotong saja dari dana Rp1,8 miliar itu,” tutur Sekda.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya