SOLOPOS.COM - Pengusaha mebel asal Sukoharjo, Amik Sumiyati, menata produk miliknya di Solo Grand Mall, pada Senin (30/1/2023). (Solopos.com/Galih Aprilia Wibowo).

Solopos.com, SOLO – Pasar dalam negeri industri mebel di Soloraya dinilai stabil. Kelompok masyarakat middle income class atau berpendapatan menengah jadi konsumen setia produk mebel di pasar lokal.

Pemilik Virgo Furniture Sukoharjo, Amik Sumiyati menjelaskan pasar mebel saat ini mulai ramai. Khususnya seusai pandemi Covid-19, sektor furnitur mulai bergeliat kembali.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Persaingan mebel ya konco dewe. Asal menjaga kualitas, stabil enggak ada perubahan. Pasarnya tetap seperti itu,” ujar Amik saat ditemui Solopos.com di Solo Grand Mall pada Senin (28/5/2023).

Namun, ia menyebut saat ini ongkos ekspor melalui pelabuhan mulai naik. Sementara itu dari pihak supplier menguraikan kenaikan ongkos produksi terjadi pada sektor tenaga kerja.

“Biasanya ekspor ya Rp30 juta [sekali kirim] sekarang jadi Rp35 juta, misalnya. Kenaikannya gara-gara kondisi cuaca,” tambah Amik.

Sebelumnya ia menguraikan saat pandemi terjadi penurunan omzet penjualan mencapai 50%. Dari awal usaha pada 2002, Amik memang menargetkan pasar ekspor.

Untuk pasar domestik sendiri ia menyasar customer lokal hingga Jakarta. Sebelum pandemi, ia mengaku bisa melakukan pengiriman hingga 20 kali, namun saat ini hanya empat hingga delapan kali pengiriman.

Ia biasanya mengandalkan supplier yaitu perajin, jadi ia tinggal meminta request bentuk dan model sesuai permintaan customer untuk dibuat oleh perajin dan dilakukan finishing atau dipoles dengan wax yaitu produk perawatan kayu yang digunakan untuk menampilkan serat kayu.

Sebelumnya, Ketua DPD HIMKI Soloraya, Haryanto mengatakan peluang penetrasi pasar domestik produk mebel dan kerajinan cukup besar. Potensi pasar mebel dalam negeri itu harus bisa dilirik para pelaku mebel dan kerajinan di Soloraya pascapandemi.

Kunci pertumbuhan permintaan produk mebel dan kerajinan di pasar domestik dari kalangan middle income class. Kelompok masyarakat middle income class cukup besar di Tanah Air. Mereka merupakan kelompok masyarakat yang kerap melakukan order mebel dan kerajinan.

Permasalahannya, lanjut Haryanto, banyak pelaku mebel dan kerajinan lokal yang belum siap menggarap pasar domestik. Mereka harus melakukan adaptasi produk, perilaku konsumen hingga jaringan buyer.

Sementara itu, dilansir dari laman kemenperin.go.id, industri furnitur memiliki peranan yang penting terhadap peningkatan kinerja sektor manufaktur dan ekonomi nasional. Hal ini tercemin dari capaian nilai ekspor produk furnitur nasional yang menembus USD2,5 miliar pada tahun 2021 atau naik 33% dibanding tahun sebelumnya sebesar USD1,9 miliar.

Hal ini disampaikan oleh Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita pada Pembukaan Pameran Indonesia International Furniture Expo (IFEX) 2022 di Jakarta, Kamis (18/8/2022).

Hingga kini, industri furnitur dan kerajinan masih menghadapi berbagai tantangan dalam menjalankan usahanya. Menperin telah menyerap beberapa isu pokok yang perlu dihadapi oleh industri furnitur dan kerajinan dalam negeri berdasarkan aspirasi yang disampikan oleh HIMKI.

Pertama, pandemi yang dilanjutkan dengan krisis geopolitik Rusia-Ukraina telah menyebabkan permasalahan logistik dan shipping yang berkepanjangan. Kelangkaan kontainer dan space cargo kapal masih terjadi.

Kedua, perang Rusia-Ukraina juga telah menyebabkan market shock, di mana terjadi permintaan atau pangsa pasar akibat tingginya inflasi di negara-negara tujuan ekspor sebagai dampak dari perang Rusia-Ukraina. Market shock ini juga menciptakan efek domino berupa pembatalan dan penundaan order terutama dari negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.

Amerika Serikat merupakan negara utama tujuan ekspor produk funitur dan kerajinan nasional dengan kontribusi ekspor lebih dari 50%. Sementara negara-negara Eropa secara total berkontribusi sekurang-kurangnya 19% dari total ekspor produk furnitur dan 10% dari produk kerajinan.

Ketiga, permasalahan domestik terkait dengan ketersediaan bahan baku. Pasokan bahan baku berupa kayu besar yang dibutuhkan oleh industri furnitur kini semakin berkurang dan langka. Selain itu, pelaku industri furnitur berbasis rotan juga dihadapkan pada permasalahan kelangkaan bahan baku rotan. Ini cukup ironis mengingat merupakan negara penghasil 80% rotan dunia.

Keempat, teknologi dan sumber daya manusia (SDM). Pembaruan teknologi di industri furnitur dan kerajinan nasional belum menjangkau secara merata. Ini diakibatkan oleh biaya investasi teknologi yang relatif mahal atau kurang terjangkau baik untuk industri, keci, dan menengah (IKM) maupun industri besar sesuai dengan skala masing-masing. Sementara di lini SDM, pasokan tenaga kerja yang terampil di level operator dan tenaga kerja dengan keahlian khusus dan tersertifikasi masih terbatas.

Kelima, isu pemberlakuan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Wajib. SVLK ditujukan untuk menjaga aspek kelestarian lingkungan dan lacak balak bahan baku (sustainability and traceability) pada produk kayu. Aspek sustainability dan traceability sekarang ini mendapat perhatian besar dan bahkan menjadi syarat di pasar global. Pemberlakuan SVLK wajib di industri hilir dipandang kurang relevan dan melahirkan hight cost economy di industri hilir kayu (industri furnitur dan kerajinan).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya