SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

 Islam adalah salah satu totalitas yang padu yang menawarkan pemecahan terhadap semua masalah kehidupan. Sebagai agama rahmatan lil’alamin Islam ini sarat dengan aturan-aturan hukum yang menjadi acuan manusia dalam menjalani hidup dan kehidupannya di setiap bidang yang digelutinya, termasuk kehidupan keluarga, ekonomi, dan politik.

 Aturan-aturan Islam itu secara umum bisa dikelompokkan menjadi dua, satu aturan hukum terkait dengan hubungan manusia dengan Tuhannya (hablun minallah) dan satu aturan hukum lagi terkait dengan hubungan manusia dengan sesama makhluk Tuhan (hablun minannas). Macam hubungan yang pertama itu kemudian disebut ibadah dan macam hubungan yang kedua disebut muamalah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kajian singkat ini hanya akan membicarakan satu bagian dari macam hubungan yang kedua, yaitu muamalah, lebih khusus lagi tentang hubungan dalam kehidupan kenegaraan (politik). Dalam bidang politik, hubungan bisa terjadi antarindividu atau bisa juga antarkelompok, rakyat dengan rakyat atau rakyat dengan pemimpin.

Terkait dengan ini ada banyak aturan yang sudah diberikan oleh Allah melalui Alquran yang kemudian dipraktikkan Nabi Muhammad SAW, sehingga menjadi sunnah (hadis) yang menjadi acuan dan harus diikuti oleh umat Islam. Di sisi lain, para pakar politik telah banyak menelorkan pikiran-pikiran yang kemudian dirumuskan dalam salah satu disiplin ilmu tersendiri yang disebut ilmu politik atau ilmu pemerintahan.

Para pakar Islam (ulama) juga sudah menetapkan aturan-aturan tentang masalah politik ini yang kemudian dinamai ilmu politik Islam al-fiqh al-siyasah atau al-ahkam al-shulthaniyyah.

Partisipasi dalam Pemilu
Beberapa hari lagi kita bangsa Indonesia akan melakukan pesta besar, yakni pesta demokrasi untuk memilih wakil-wakil rakyat di DPR, DPD, DPRD, maupun untuk memilih presiden. Sebagai warga negara yang baik, tentu kita ingin menyukseskan pemilu dengan cara berpartisipasi aktif dalam seluruh rangkaiannya.

Salah satu tujuan penting dalam pemilu adalah memilih wakil yang menduduki posisi tertentu. Beberapa waktu lalu Majlis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan satu fatwa yang cukup kontrofersial terkait dengan pemilu, yakni tentang haramnya umat Islam mengambil pilihan golput (golongan putih) atau tidak memilih dalam pemilu.

Salah satu alasan utama dikeluarkannya fatwa itu adalah agar umat Islam menyukseskan pemilu yang sudah pasti menguras dana negara (rakyat) dalam jumlah besar.

Terkait dengan fatwa ini, penulis cenderung untuk tidak melakukan justifikasi atas fatwa tersebut. Masyarakat, sudah bisa menilai dan menanggapi fatwa MUI tersebut dengan arif. Meskipun fatwa MUI tidak memiliki kekuatan hukum di negara kita, seperti peraturan perundang-undangan, namun di kalangan sebagian masyarakat kita, khususnya umat Islam, fatwa MUI itu menjadi salah satu dasar atau acuan ketika tidak ditemukan aturan yang jelas (qath’iy) dalam Alquran dan Sunnah.

Memilih pemimpin
Terlepas dari apakah kita setuju atau tidak setuju dengan fatwa MUI di atas, akan dikaji lebih rinci di sini beberapa prinsip Islam dalam hal memilih pemimpin. Dari beberapa ayat Alquran, dapat dijelaskan bahwa seorang muslim harus memilih pemimpin yang muslim.

Wali dalam ayat ini bisa berarti pelindung, penolong, atau pemimpin. Dalam ayat yang lain Allah dengan tegas melarang umat Islam memilih pemimpin yang beragama lain.

Allah juga menegaskan: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman (QS. al-Maidah (5): 57).

Tiga ayat ini memang terkesan mengajak umat Islam harus fanatik. Mengapa Alquran menegaskan hal ini, apakah ada toleransi untuk memilih pemimpin yang non-Muslim? Hemat penulis, ketiga ayat itu harus dipahami secara kontekstual.

Jika calon pemimpin itu semuanya Muslim, tentu yang harus kita pilih adalah yang terbaik. Untuk menentukan siapa yang terbaik di antara mereka, sangatlah relatif. Setiap kita akan mengatakan si A yang terbaik atau si B yang terbaik, dengan kriteria tertentu yang kita pakai. Jika kita berpartai A, maka hampir bisa dipastikan kita akan memilih pemimpin yang berpartai sama, yakni partai A, begitu juga yang lain.

Namun, jika pemimpin itu tidak dalam satu partai dengan kita, maka kita akan memilih pemimpin yang kita anggap terbaik. Objektivitas baik yang terakhir ini tentu lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan satunya, yakni pemimpin yang berpartai sama.

Dalam hadis Nabi yang diriwayatkan Muslim, Nabi bersabda: “Sebaik-baik pemimpin adalah mereka yang kamu cintai dan mencintai kamu, kamu berdoa untuk mereka dan mereka berdoa untukmu. Seburuk-buruk pemimpinmu adalah mereka yang kamu benci dan mereka membencimu, kamu laknati mereka dan mereka melaknati kamu.”

Dengan kriteria-kriteria dari Alquran dan hadis di atas jelaslah bahwa memilih pemimpin yang baik itu tidaklah mudah, apalagi di negara kita yang terkadang yang menjadi calon pemimpin itu jauh dari kriteria tersebut. Jika demikian halnya, tentu yang harus kita lakukan adalah kita memilih yang terbaik dari yang ada (paling banyak kelebihannya), atau dengan patokan lain kita memilih yang paling minim kekurangannya. Karena itu, jika kita dihadapkan pada dua calon pemimpin, yang satu muslim tetapi jelek dan yang satu non-muslim tetapi baik, maka kita harus lebih cermat lagi dalam melakukan pilihan.

Jika semua calon pemimpin yang akan kita pilih non-muslim, tentu kita harus menentukan pilihan yang terbaik, apakah harus mengikuti ketentuan di atas, memilih yang terbaik dari yang ada, ataukah harus memilih untuk tidak memilih (golput). Kalau patokannya adalah untuk kemaslahatan individu, barang kali alternatif terakhir yang terbaik, yakni golput. Namun, jika patokannya kemaslahatan bersama (bangsa atau negara), maka kita harus memilih salah satu dari mereka.

Di akhir tulisan ini perlu ditegaskan bahwa iktikad baik yang merupakan buah keimanan harus diterjemahkan menjadi tindakan kebaikan yang nyata dalam masyarakat, berupa amal saleh, yaitu tindakan yang membawa kebaikan untuk sesama manusia. Tindakan kebaikan bukan untuk kepentingan Tuhan, sebab Tuhan adalah Maha Kaya, tidak membutuhkan apa pun dari manusia.

Tegaknya hukum dan keadilan di negara kita sangat memerlukan seorang pemimpin yang baik. Karena itulah marilah kita bersama-sama berikhtiar untuk memilih pemimpin yang terbaik buat bangsa dan negara kita tercinta, Indonesia.

 

Oleh Marzuki
Dosen tetap Jurusan PKN dan Hukum, FISE, UNY

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya