SOLOPOS.COM - Spanduk berisi persetujuan terhadap politik uang terpasang di Dusun Mejing Kidul Desa Ambarketawang, Gamping Sleman. Foto diambil Selasa (1/4/2014). (Sunartono/JIBI/Harian Jogja)

Harianjogja.com, SLEMAN-Ada kampung secara tegas menolak politik uang melalui spanduk. Tapi ada juga kampung yang menyatakan terbuka dengan politik uang dengan cara yang sama. Berikut Laporan wartawan Harian Jogja, Sunartono.

Politik uang. Banyak orang membenci tak sedikit yang menyukai. Praktik ini biasa terjadi dalam setiap pelaksanaan pesta demokrasi. Mereka yang berduit tapi minim kemampuan bisa terpilih karena mampu membeli suara hingga ratusan. Sebaliknya orang yang mumpuni bisa terdepak karena bermodal cekak.

Promosi Kanker Bukan (Selalu) Lonceng Kematian

Isu itu santer dibahas dan dipersoalkan. Bukan saja di tataran nasional bahkan hingga sampai ke pedusunan. Bagi yang idealis mungkin kuasa menolak politik uang. Tapi mereka yang mudah tergoda iman akan menerima dengan alasan banyaknya kebutuhan.

Kawasan Dusun Mejing Kidul, Ambarketawang, Gamping, Sleman mungkin menjadikan banyak orang timbul pertanyaan akan terkait persoalan ini. Karena tepatnya di pintu masuk RW 08 dusun ini terdapat spanduk bertuliskan : Warga Kami Masih Terbuka, Menerima Serangan Fajar.

Spanduk dengan ukuran panjang sekitar tiga meter dan lebar satu meter itu berdiri di atas tiang bambu yang ditancapkan setinggi lima meter berada di sebelah kiri. Di kanannya cukup mengaitkan talinya dengan tiang telepon.

Mengapa spanduk itu bisa disebut berisi ajakan money politics? Kalimat pertama “Warga Kami Masih Terbuka” yang berada di garis pertama dapat diartikan sebagai menerima atau bukan penolakan.

Bahkan ditegaskan dalam kalimat berikutnya di baris kedua “Menerima” bisa bermakna menerima. Dilanjutkan dengan “Serangan Fajar” secara harfiah, serangan fajar bisa bermakna serangan yang ditujukan kepada lawan saat matahari terbit.

Tetapi adanya tanda kutip di dua kata itu membuat penafsiran berbeda. Banyak orang mengidentikkan dengan pemberian amplop oleh kandidat peserta demokrasi dalam hal ini caleg atau parpol dengan cara sembunyi-sembunyi agar mendapatkan suara.

“Kalau melihat kalimatnya seperti itu, sama dengan mengundang politik uang,” ungkap Ketua Panwaslu Sleman, Sutoto Jatmiko saat dihubungi melalui ponselnya, Selasa (1/4/2014).

Tanggapan berbeda justru disampaikan Ketua RW 08, Mejing Kidul, Putut Wiryawan yang juga caleg dari Partai Demokrat. Menurut dia, spanduk itu dipasang oleh warga sebagai bentuk sindiran terhadap para caleg yang menggunakan politik uang.

Jika demikian apakah semua orang melintas bisa menerima kalimat itu sebagai kalimat sindiran?

Padahal, tidak semua warga yang mengetahui siapa pemasangnya. “Saya tidak tahu yang masang wong banyak tapi sudah ada yang dilepas. Kalau saya dikasih [uang] ya saya terima, soal nyoblos itu sudah punya pilihan sendiri,” kata Srikasih warga setempat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya