SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Hari-hari ini, mungkin Anda akan kesulitan menemukan ruang publik yang kosong dari sergapan janji-janji manis para calon presiden, melalui apa yang sering disebut sebagai ’serangan udara’.

Iklan rasanya kian bertubi-tubi menjejali media melalui siaran televisi, radio, Internet, hingga media cetak. Media luar ruang juga kian marak. Tengok saja spanduk, pamflet dan baliho yang bertebaran warna-warni di jalanan dalam berbagai ukuran, hingga tak terkecuali Angkringan Pakdhe Harjo.

Promosi Komeng Tak Perlu Koming, 5,3 Juta Suara sudah di Tangan

Tentu saja, dengan mudah Anda menemukan tayangan iklan yang konsisten jualan selera ‘mi instan’, klaim-klaim atas prestasi pemerintahan, hingga janji kemandirian, pemerintahan bersih, kritik atas harga sembako, hingga pemerintahan yang pro-rakyat.

Ketiga calon presiden beserta pasangan masing-masing, yakni Mega-Prabowo, SBY-Boediono, dan JK-Wiranto, memang tengah menggenjot strategi untuk meningkatkan elektabilitas alias keterpilihan, dengan serangan udara melalui medium iklan.

Memang tak semuanya mulus, karena ternyata ada beberapa iklan yang kena cekal, termasuk iklan ‘Bangkrut’ yang dianggap secara etika mendiskreditkan salah satu kandidat presiden.

Banyak spekulasi di balik pencekalan iklan kampanye itu, termasuk dugaan budaya telepon yang kembali menjangkiti para penguasa atau tim suksesnya, yang kemudian hal ini dibantah.

Meski logika iklan yang dianggap mendiskreditkan itu sebenarnya sangat mudah diperdebatkan, saya merasa tak perlu turut terjebak dalam perdebatan itu. Toh, tiada guna berdebat atas sesuatu yang, bagi saya, sudah jelas duduk soalnya. Mirip dengan ‘debat calon presiden’ yang juga bukan debat yang sesungguhnya karena terlalu banyak dikungkung aturan main yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum atas nama mitos ‘politik santun’.

Atas nama kesantunan, debat capres jadi kehilangan greget, konten dan konteks. Saling dukung, saling puji, menjadikan debat capres putaran pertama seperti melihat seragam sekolah anak-anak kita, tak perlu ada diferensiasi, supaya kelihatan sama, atau paling tidak, ‘beda-beda dikit’ saja.

Karenanya, kita tidak bisa benar-benar menemukan mana kelemahan dan mana keunggulan para kandidat. Yang ada kemudian janji-janji normatif, yang sudah sering Anda dengar dalam berbagai kesempatan. Pikir saya, ini kok seperti “debat seolah-olah”.

Sampul vs isi
Sejak gong Pilpres ditabuh, panggung politik memang lebih banyak dijejali perbincangan mengenai model dan warna sampul ketimbang isi bukunya. Akibatnya, panggung politik Pilpres seperti kehilangan substansinya.

Silakan saja jika Anda tidak setuju, akan tetapi tengoklah perdebatan mengenai dikotomi “neoliberal” versus “ekonomi pro-rakyat” yang kehilangan konteksnya. Begitu pula isu “jilbab loro” versus “jilbab politik”, pemilu “satu putaran” versus “dua putaran”, “utang luar negeri” versus “kemandirian anggaran”, serta sederet wacana artifisial yang tidak menyentuh akar persoalan. Seolah-olah perang wacana dan konsep, tetapi sesungguhnya cuma jualan ‘baju’.

Saya mungkin tidak punya hak mengklaim sebagai mewakili cara pandang masyarakat kebanyakan. Namun, dengan uji petik ke beberapa sopir taksi, dengan mudah akan dapat jawaban: “Ah, saya tak peduli soal utang, neolib atau apa kek. Yang penting kita bisa makan Pak.”

Itulah jawaban polos dan spontan sopir taksi, yang mengantar saya dari sebuah tempat ke kantor, beberapa hari lalu.

Kalangan yang relatif lebih mendapatkan akses informasi pun ternyata punya pandangan yang jauh lebih skeptis. Dalam sebuah obrolan, seorang sahabat yang kebetulan warganegara Singapura, mengatakan sulit berharap dari tiga kandidat presiden Indonesia saat ini. Pasalnya, di mata sahabat itu, ketiga kandidat memiliki ‘cacat’ material.

Tapi saya langsung sadar bahwa tak begitu elok mengungkapkan kelemahan pemimpin kita di ruang publik seperti ini. Terlebih lagi di era kampanye begini, nanti saya dianggap tidak santun, tak beretika, atau salah-salah malah dianggap kampanye negatif.

Pasalnya, kesantunan politik belakangan ini memang menjadi senjata ampuh dalam kampanye pilpres. Entah bagaimana, berkembanglah mitos baru, bahwa kampanye pemilu yang baik adalah kampanye positif yang santun, tidak ada serangan maupun kampanye negatif terhadap lawan.

Lalu kampanye menyerang atau kampanye negatif dianggap tidak santun, tidak beretika dan tidak ksatria. Jadi, ndak terlalu salah kalau kampanye Pilpres kali ini pun seperti “kampanye seolah-olah”.

Pencekalan iklan
Karena itu, menjadi masuk akal jika kemudian muncul pencekalan terhadap iklan yang dianggap tidak santun dan menyerang.

Teman saya mengingatkan, “Anda jangan terlalu jauh berspekulasi.” Tetapi, saya sebenarnya lebih prihatin dan tidak sedang berspekulasi.

Coba bayangkan, Pilpres 8 Juli yang tinggal beberapa hari lagi masih menyisakan sejumlah persoalan yang sebenarnya telah terdeteksi sejak pemilu legislatif April silam.

Sebut saja soal daftar pemilih, yang ternyata masih terdapat sejumlah pemilih ganda, selain pemangkasan sekitar 69.000 TPS di tengah tambahan sedikitnya 5 juta pemilih baru.

Lalu, gerakan pemilu satu putaran, dengan logika penghematan anggaran, padahal sesungguhnya lebih merupakan upaya pembentukan opini ketimbang pendidikan demokrasi.

Kalau demikian halnya, mengapa harus ada Pilpres langsung? “Kalau tujuannya berhemat, ndak usah ada pemilu presiden. Serahkan saja pemilihan presiden kepada MPR, seperti masa lalu,” kata seorang politisi.

Saya jadi ingat Dahlan Iskan. Suatu sore, boss Jawa Pos Grup, itu berkunjung ke Bisnis Indonesia. Dia menceritakan pemilikan saham karyawan pada sebuah perusahaan, yang sesungguhnya tak diperlukan, karena si karyawan tak mampu berbuat apa-apa dengan kepemilikan sahamnya itu.



Menurut Dahlan, kepemilikan saham itu sama saja dengan “saham seolah-olah.”

Lha, jangan-jangan, pemilu presiden kali ini pun, cuma “pemilu seolah-olah”.

Aahh… janganlah!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya