SOLOPOS.COM - Lely Anggraeni alias Angel Lelga (JIBI/Solopos/Dok.)

Solopos.com, SOLO — Kalangan calon legislatif (caleg) perempuan yang akan bertarung dalam percaturan politik Pemilu 2014 diragukan mampu memperjuangkan kesetaraan gender.

Hal itu mengemukan dalam diskusi Pemilih Cerdas: Tidak Ada Demokrasi Tanpa Perempuan di Rumah Dinas Wali Kota Solo Loji Gandrung, Sabtu (22/3/2014). Diskusi tersebut menghadirkan narasumber pengajar filsafat Fakultas Hukum dan PMPL, Unika Soegijapranata, Donny Danardono, dan Komisioner Komnas Perempuan, Andy Yentriyani.

Promosi Cuan saat Ramadan, BRI Bagikan Dividen Tunai Rp35,43 Triliun

Dalam diskusi itu, Donny mengatakan UU No. 10/2008 memang sudah mewajibkan partai politik (parpol) untuk mencalonkan sedikitnya 30% caleg perempuan. Namun begitu, sejauh ini tidak ada sanksi bagi partai yang gagal memenuhi kuota tersebut. Menurutnya, pada Pemilu 2009 lalu, komposisi perempuan di legislatif juga diragukan mampu memperjuangkan kesetaraan gender.
“Sebab, 67% jumlah legislator perempuan di DPR dan DPRD dianggap tak mampu berpolitik secara substansial. Mereka ini terdiri dari 42% legislator perempuan yang dilatarbelakangi dinasti politik seperti ayah, suami, saudara pria adalah tokoh politik ternama di Indonesia. Sementara 25% sisanya adalah legislator perempuan dari kalangan selebriti di dunia hiburan,” jelas Donny.

Donny menambahkan para legislator perempuan tersebut umumnya tidak bisa berpolitik seperti para pria. Hal itu dikarenakan mayoritas legislator perempuan ini ditempatkan di komisi-komisi yang terkait dengan peran domestik mereka di ruang privat atau rumah tangga. Tugas politisi perempuan ini dianggap sebagai kepanjangan dari tugas domestik tersebut.

“Anggapan tradisional tentang perempuan yang bertanggung jawab di urusan domestik [rumah tangga] juga dipraktikkan di politik negara. Karena itu, pemilu pada April 2014 ini diperkirakan tak akan membawa perubahan penting bagi nasib perempuan,” tegasnya.

Pada kesempatan itu, Andy Yentriyani, berharap kalangan caleg perempuan bisa memperjuangkan kesetaraan gender di Indonesia. Dia mengaku prihatin dengan maraknya kekerasan seksual yang dialami kalangan perempuan di Indonesia. Menurutnya, setiap dua jam, terdapat tiga perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.

Rata-rata perempuan korban kekerasan seksual itu masih di bawah umur. Dia menilai masyarakat terkadang menganggap pakaian seksi yang dikenakan perempuan itu sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual. Namun faktanya, perempuan tetap rentan menjadi korban kekerasan seksual dalam balutan pakaian apapun. “Pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan ini rata-rata orang terdekatnya sendiri. Jadi, bukan pakaian perempuan yang harus dipermasalahkan,” paparnya.

Caleg Perempuan Diragukan Bisa Perjuangkan Kesetaraan Gender

SOLO—Kalangan calon legislatif (caleg) perempuan yang akan bertarung dalam percaturan politik Pemilu 2014 diragukan mampu memperjuangkan kesetaraan gender.

Hal itu mengemukan dalam diskusi Pemilih Cerdas: Tidak Ada Demokrasi Tanpa Perempuan di Rumah Dinas Wali Kota Solo Loji Gandrung, Sabtu (22/3). Diskusi tersebut menghadirkan narasumber pengajar filsafat Fakultas Hukum dan PMPL, Unika Soegijapranata, Donny Danardono dan Komisioner Komnas Perempuan, Andy Yentriyani.

Dalam diskusi itu, Donny mengatakan UU No. 10/2008 memang sudah mewajibkan partai politik (parpol) untuk mencalonkan sedikitnya 30% caleg perempuan. Namun begitu, sejauh ini tidak ada sanksi bagi partai yang gagal memenuhi kuota tersebut. Menurutnya, pada Pemilu 2009 lalu, komposisi perempuan di legislatif juga diragukan mampu memperjuangkan kesetaraan gender. “Sebab, 67% jumlah legislator perempuan di DPR dan DPRD dianggap tak mampu berpolitik secara substansial. Mereka ini terdiri dari 42% legislator perempuan yang dilatarbelakangi dinasti politik seperti ayah, suami, saudara pria adalah tokoh politik ternama di Indonesia. Sementara 25% sisanya adalah legislator perempuan dari kalangan selebriti di dunia hiburan,” jelas Donny.

Donny menambahkan para legislator perempuan tersebut umumnya tidak bisa berpolitik seperti para pria. Hal itu dikarenakan mayoritas legislator perempuan ini ditempatkan di komisi-komisi yang terkait dengan peran domestik mereka di ruang privat atau rumah tangga. Tugas politisi perempuan ini dianggap sebagai kepanjangan dari tugas domestik tersebut. “Anggapan tradisional tentang perempuan yang bertanggung jawab di urusan domestik [rumah tangga] juga dipraktikkan di politik negara. Karena itu, pemilu pada April 2014 ini diperkirakan tak akan membawa perubahan penting bagi nasib perempuan,” tegasnya.

Pada kesempatan itu, Andy Yentriyani, berharap kalangan caleg perempuan bisa memperjuangkan kesetaraan gender di Indonesia. Dia mengaku prihatin dengan maraknya kekerasan seksual yang dialami kalangan perempuan di Indonesia. Menurutnya, setiap dua jam, terdapat tiga perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Rata-rata perempuan korban kekerasan seksual itu masih di bawah umur. Dia menilai masyarakat terkadang menganggap pakaian seksi yang dikenakan perempuan itu sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual. Namun faktanya, perempuan tetap rentan menjadi korban kekerasan seksual dalam balutan pakaian apapun. “Pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan ini rata-rata orang terdekatnya sendiri. Jadi, bukan pakaian perempuan yang harus dipermasalahkan,” paparnya. (Moh. Khodiq Duhri)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya