SOLOPOS.COM - Ilustrasi aktivitas buruh tani di sawah. (JIBI/Solopos/Antara/Aditya Pradana Putra)

Pemerintah DIY tetap kesulitan untuk menyosialisasikan penggunaan benih varietas baru, Inpari 30

Harianjogja.com, JOGJA–Jelang memasuki musim tanam di penghujung 2017 ini, Pemerintah DIY tetap kesulitan untuk menyosialisasikan penggunaan benih varietas baru, Inpari 30.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tak hanya tetap bersikukuh menggunakan varietas lama yakni Ciherang, para petani bahkan masih ada yang menggunakan benih IR 64. Padahal beberapa tahun terakhir, pemerintah telah merilis hasil kajiannya bahwa IR 64 sudah tak memiliki ketahanan terhadap hama dan penyakit.

Hal itu disampaikan oleh Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian (Distan) DIY Yektining Rahajeng. Ditemui di kantornya, Kamis (28/9/2017), dirinya mengaku kesulitan dalam mengajak petani untuk meninggalkan kebiasaan pemakaian benih IR 64 itu.

Ia menjelaskan, benih tersebut memang pernah menjadi benih varietas unggul di awal hingga medio 2000-an. Namun seiring dengan berkembangnya hama dan penyakit tanaman, memang diperlukan varietas-varietas unggul baru lainnya yang lebih sesuai dengan perkembangan hama dan penyakit tanaman tersebut.

“Ada Ciherang. Ada pula benih baru, yakni Inpari 30. Tapi benih baru ini belum populer di kalangan petani,” aku Yektining.

Hal itu terbukti pada permintaan benih bersubsidi oleh petani kepada dua perusahaan perbenihan, PT Pertani dan PT Sang Hyang Seri (SHS). Dari data yang dimilikinya, permintaan petani kepada PT SHS didominasi oleh benih padi Ciherang yang mencapai 60%, sisanya adalah benih padi jenis Mekongga dan Situ Bagendit.

Begitu pula dengan PT Pertani. Permintaan petani kepada PT Pertani juga didominasi oleh benih berjenis Ciherang. Ironisnya, permintaan benih IR 64 ternyata masih ada pada kedua perusahaan tersebut. “Persentase total di DIY yang masih menggunakan IR 64 sekitar 20 persen,” katanya.

Diakuinya, mengubah kebiasaan petani bukanlah perkara mudah. Petani, diakuinya, sudah terlanjur terbiasa menggunakan benih Ciherang dan IR 64. “Untuk beralih benih, mereka menginginkan bukti terlebih dulu,” katanya.

Ia khawatir, jika hal ini terus terjadi, petani akan mengalami gagal panen lantaran serangan hama dan penyakit tanaman yang tak terkendali. Padahal, dari hasil uji coba, produksi benih Inpari 30 terbilang lebih unggul ketimbang Ciherang, yakni rata-rata sekitar 7,2 ton per hektar.

Terpisah, Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pertanian Muhammad Prama Yufdy menjelaskan varietas unggul memang senantiasa dilahirkannya atas dasar dinamika perkembangan hama dan penyakit tanaman.

Itulah sebabnya, selain terus melakukan penelitian, pihaknya juga menjalin komunikasi dan jejaring dengan beberapa negara terkait pengelolaan hama dan penyakit tanaman secara terpadu.

“Salah satunya adalah melalui forum AFACI ini,” ujarnya saat ditemui usai membuka acara workshop tanaman pangan oleh Asian Food and Agriculture Cooperation Initiative (AFACI) di Hotel Santika, Rabu (27/9/2017) lalu.

Ia tak memungkiri, sosialisasi kepada petani memang menjadi kendala pihaknya dalam menerapkan penggunaan varietas baru yang jauh lebih unggul. Menurutnya, peran pemerintah daerah dalam persoalan ini menjadi sangat penting.

Selain itu, ia pun menandaskan bahwa varietas unggul tak lagi berarti jika tak diikuti oleh pola tanam yang sesuai. Itulah sebabnya, pihaknya terus berupaya meningkatkan sosialisasi sekaligus inovasi dalam hal teknologi pertanian. “Percuma saja, kalau benihnya unggul, tapi tidak dirawat dengan baik,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya