SOLOPOS.COM - Tundjung W Sutirto (Dok.SOLOPOS)

Tundjung W Sutirto (Dok.SOLOPOS)

Solo (Solopos.com)–Sejumlah kalangan di Solo merespons positif adanya keinginan rekonsiliasi dua kubu Keraton Kasunanan Surakarta. Pemerintah diharapkan turun tangan mengambil alih konflik yang selama ini terjadi.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Ketua Divisi Litigasi dan Nonlitigasi Badan Mediasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum (FH) Universitas Sebelas Maret (UNS), Is Haryanto, menilai perlunya semacam beauty contest antara kubu Hangabehi dengan Tedjowulan. Masing-masing pihak membuat susunan klausul atau konsep rekonsiliasi lalu disampaikan langsung dan dibahas.

Sebisa mungkin rekonsiliasi dilakukan langsung antara dua kubu atau melalui mediator yang ditunjuk bersama. Is menilai jika ada mediator yang berperan sebagai mediator bukan unsur Pemkot Solo seperti Walikota. Melainkan sekumpulan tokoh masyarakat yang tahu sejarah, komit terhadap kebudayaan serta bisa bertindak netral.

”Wacana rekonsiliasi ini harus diapresiasi positif. Siapa yang berwenang menerima bantuan pemerintah, subjek atau penerimanya harus jelas. Eksistensi adalah persoalan utama Keraton,” tandasnya kepada Espos, Kamis (24/11/2011).

Pendapat senada disampaikan pengurus Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS), Sumartono Hadinoto. Rekonsiliasi tanpa mediator dimaksudkan agar pihak ketiga atau khalayak ramai tidak mengetahui detail persoalan dan intrik selama proses rekonsiliasi sehingga martabat dan karisma Keraton Kasunanan Surakarta tidak semakin turun.

Menurut dia, seorang raja harus mempunyai kewibawaan seperti yang masih terjaga baik di Keraton Kasultanan Yogyakarta, Kerajaan Inggris, Jepang dan negara-negara lain.

Peristiwa perebutan kekuasaan seperti yang terjadi di Keraton Kasunanan Surakarta merupakan preseden buruk yang seharusnya tidak terjadi.

”Saya menyambut baik wacana rekonsiliasi dua raja, semoga segera tercapai. Bila banyak orang yang terlibat biasanya malah tidak menyelesaikan masalah,” katanya.

Menurut Sumartono, bila memang harus ada mediator, haruslah yang benar-benar netral dan didengar dua pihak. Walikota Solo, Joko Widodo (Jokowi) adalah salah satu tokoh yang dinilai tepat menjadi mediator.

Sedangkan pengamat sosial budaya UNS Solo, Tundjung W Sutirto, menegaskan pemerintah harus segera mengambil alih konflik yang terjadi di internal Keraton Kasunanan Surakarta. Sikap Keraton yang menolak tawaran rekonsiliasi dari PB XIII Tedjowulan dinilai sebagai bentuk pengabaian kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

”Sekarang itu hanya ada NKRI. Tak ada negara dalam negara,” tegas Tundjung kepada Espos di ruang kerjanya, Kamis.

Menurut Tunjung, pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) harus segera turun tangan dan menyelesaikan dualisme raja yang berlarut-larut. Sebagai aset bangsa, katanya, masyarakat Solo dan juga bangsa Indonesia tak rela melihat Keraton dalam kondisi tak terawat dan tak bermartabat.

Dia melanjutkan tawaran rekonsiliasi dari Tedjowulan harus ditangkap sebagai sebuah isyarat bahwa kerukunan jauh lebih penting ketimbang kekuasaan.

”Ini sebenarnya pernah diwasiatkan oleh PB XII ketika menggelar gerakan rekonsiliasi Indonesia tepat pada 20-03-2003. Ini harus dipegang teguh oleh putra-putri Keraton,” terangnya.

(asa/kur/shs)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya