SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Jakarta (Solopos.com)–Pemerintah melalui Menteri Keuangan Agus Martowardoyo bersikukuh ingin ikut tanda tangan di mata uang rupiah. Hal tersebut nantinya tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Mata Uang (RUU Mata Uang) yang saat ini dalam tahap finalisasi.

Bank Indonesia (BI) mengungkapkan, terdapat implikasi yang besar ketika pemerintah ikut mengurusi kebijakan moneter salah satunya mengenai tanda tangan.

Promosi Beredar Video Hoax Uang Hilang, Pengamat Sebut Menabung di Bank Sangat Aman

Deputi Gubernur Bank Indonesia S Budi Rochadi mengatakan ketika Menteri Keuangan ikut membubuhi tanda tangan dalam mata uang rupiah maka pemerintah otomatis ikut menanggung beban pembiayaan pencetakan dan peredaran uang.

“Ini sesuai dengan tanggung jawab. Karena di negara manapun siapa yang ikut menandatangani maka orang tersebut secara instansi harus bertanggung jawab penuh mengenai hal yang terkait mata uang,” ujar Budi ketika ditemui di Gedung Bank Indonesia, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Senin Malam (23/5/2011).

Dijelaskan Budi, tanggung jawab tersebut termasuk kepada masalah krusial yakni mengenai pembiayaan pencetakan dan peredaran uang tersebut. Menurutnya, biaya pengedaran uang keseluruhan adalah ongkos yang terbesar kedua setelah menstabilkan nilai rupiah.

“Ongkosnya cukup mahal, biaya pengedaran uang keseluruhan adalah pengeluaran terbesar kedua di BI dan biaya percetakan uang kira-kira dua per tiga total biaya pengedaran uang,” ujarnya.

Ia menjelaskan keinginan Menteri Keuangan untuk membubuhkan tandatangan pada uang rupiah merupakan bentuk intervensi otoritas fiskal pada otoritas moneter serta bertentangan dengan pasal 23 UUD 1945.

“Ini bisa menimbulkan konsekuensi hukum, karena ini bukan sekedar tandatangan biasa. Begitu Menteri Keuangan menandatangani ada konsekuensi pengakuan utang dan mengakibatkan ketidakpastian di kalangan masyarakat,” ujarnya.

Lebih baik presiden yang tanda tangan

BI justru mendorong ketika pemerintah sebagai simbol ingin ikut menandatangani nilai tukar rupiah maka orang yang cocok adalah Presiden sebagai kepala negara yang membubuhkan tandatangan tersebut karena konsekuensi hukum yang jelas.

“Presiden sebagai Kepala Negara yang menandatangani mata uang justru lebih tepat karena kedudukannya diatas Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan,” kata Budi.

Menurutnya, Kementerian Keuangan yang notabene sejajar dengan bank sentral tidak akan pas bahkan terkesan ikut campur terlalu jauh.

Lebih jauh Budi mengatakan, dengan adanya UU Mata Uang dikhawatirkan apabila BI ingin mencetak uang baru dibutuhkan koordinasi yang berbelit-belit dengan pemerintah padahal uang tersebut dibutuhkan beredar secara cepat.

Selain itu, pemerintah dikhawatirkan dapat mencetak uang baru ketika ingin membiayai defisit fiskal, yang secara tidak langsung dapat menyebabkan laju inflasi tinggi.

“Kebijakan moneter termasuk penerbitan uang. Ini membuat kebijakan moneter tersandera, padahal dalam UU keuangan negara tertulis kekuasaan dibagi antara pemerintah dan BI, pemerintah menguasai semua keuangan kecuali moneter,” ujar Budi.

(detik.com/tiw)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya