SOLOPOS.COM - Ilustrasi sertifkat (tanda bukti hak) atas tanah. (JIBI/Solopos/Dok.)

Pemda DIY mendapat surat somasi.

Harianjogja.com, JOGJA – Sebuah kelompok bernama gerakan anak negeri anti-diskriminasi (Granad) mengirim surat somasi terhadap Pemerintah Daerah (Pemda) DIY. Surat ditujukan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X. Mereka mengirimkan surat somasi tersebut di Kompleks Kepatihan Kantor Gubernur DIY, Jalan Malioboro, Kamis (15/9/2016) pagi.

Promosi Iwan Fals, Cuaca Panas dan Konsistensi Menanam Sejuta Pohon

Somasi itu dilakukan, karena Gubernur DIY belum mencabut instruksi Wagub DIY No. K898/I/A-/1975 tentang pelarangan WNI nonpribumi atau Tionghoa memiliki tanah di DIY. Kala itu instruksi tersebut ditandatangani oleh Wagub DIY Paku Alam VIII pada 41 tahun silam. Komnas HAM telah mengeluarkan surat rekomendasi pencabutan instruksi tersebut sebanyak dua kali. Antara lain No.037/R/Mediasi/VIII/2014 tertanggal 11 Agustus 2014 dan No.069/R/Mediasi/VIII/2015 pada Agustus 2015.

Sekadar diketahui, sejarah pertanahan di DIY berawal dari Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 atas inisiatif Belanda untuk memecah belah Kerajaan Mataram. Perjanjian tersebut memutuskan pembagian kekuasaan Kerajaan Mataram menjadi dua yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.

Ekspedisi Mudik 2024

Sebulan paska-perjanjian, Sri Sultan HB I yang ditetapkan sebagai Sultan di Kasultanan Yogyakarta, mendirikan kraton sebagai pusat Kota Jogja. Sejarah itu terjadi jauh sebelum Indonesia lahir, dan kini DIY mendapat hak istimewa melalui UU No.13/2012 tentang Keistimewaan DIY. Dalam Undang-Undang ini salahsatunya mengamanatkan inventarisasi tanah berstatus Sultan Ground dan Pakualaman Ground. Tetapi paska-Undang-Undang itu diterbitkan, masalah pertanahan di DIY terus bergulir, seperti kasus somasi yang diajukan sekelompok masyarakat kemarin.

Salahsatu warga yang turut bersama, Granad Z. Siput L. menjelaskan kedatangannya ke Kompleks Kepatihan untuk bertemu dengan Gubernur DIY, akantetapi karena tidak berada di tempat, maka pihaknya menitipkan surat. Menurutnya, surat itu berisi tentang desakan dan sekaligus somasi agar Gubernur DIY mentaati dan melaksanakan rekomendasi Komnas HAM agar tidak melanggar HAM.

“Kami melakukan somasi ini karena rasa sayang kami terhadap Gubernur DIY,” terangnya, Kamis (15/9/2016).

Alasannya, karena sampai saat ini Gubernur DIY dengan sengaja tidak mentaati dan mengabaikan kedua rekomendasi dari Komnas HAM. Ia menilai Gubernur DIY sengaja tidak mau mencabut surat instruksi Wagub DIY No. K898/I/A-/1975.

“Bahwa sebagaimana rekomendasi Komnas HAM, tindakan Gubernur DIY yang dengan sengaja tidak mentaati rekomendasi Komnas HAM, yaitu tidak mencabut instruksi tersebut, maka telah melanggar berbagai peraturan perundangan, seperti Pasal 28 ayat 2 UU 1945, Pasal 9 ayat 1 dan ayat 2 serta Pasal 21 UU No.5/1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria,” tegas dia.

Menanggapi somasi tersebut, Kepala Biro Hukum Setda DIY Dewo Isnu Broto menyatakan tidak harus melaksanakan desakan atau somasi tersebut untuk mencabut instruksi 1975. Dalam kasus itu, pihaknya sempat menang saat di PTUN, akantetapi kemudian pihak penggugat mengajukan kasasi. Selain itu pihaknya masih bisa menggunakan hak hukum berupa banding jika hasil kasasi tak sesuai harapan.

“Kecuali kalau putusan pengadilan saya harus mencabut. Pemda tidak akan menanggapi sampai ada keputusan pengadilan yang sesungguhnya seperti apa,” tegasnya.

Menurutnya, jika ada pihak yang menjadikan dasar rekomendasi Komnas HAM untuk mencabut, lembaga HAM tersebut sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk menyuruh mencabut instruksi. Jika Komnas HAM menyatakan ada pelanggaran HAM, kata dia, maka harus dibuktikan lebih dahulu. Ia menilai, Komnas HAM menyampaikan rekomendasi atas dasar referensi sepihak tanpa melihat nilai filosofi, fisiologi dan sejarah masyarakat DIY.

Selain itu, pihaknya khawatir jika instruksi itu dicabut, maka tanah yang ada di DIY akan dicaplok warga non-pribumi.

“Kalau intruksi itu kita lepas, tanah di DIY itu dikuasai mereka. Kalau kita menilik pada UU pertanahan, kita [Pemda DIY] tidak salah, karena dalam aturan itu dinyatakan bahwa yang ekonomi kuat dilarang menguasai ekonomi lemah, artinya di dalam pertanahan pun juga seperti itu,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya