SOLOPOS.COM - Dwijo Sumarto (tengah, berkacamata) saat memimpin pembukaan Cupu Panjala di Dusun Mendak, Girisekar, Panggang. Selasa (23/9/2014). (JIBI/Harian Jogja/David Kurniawan)

Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL-Sebagai pemangku adat, Dwijo Sumarto mengaku senang dan bangga, karena dapat  melestarikan budaya nenek moyang. Lalaki berusia 72 tahun itu merawat tradisi Cupu Panjala secara tekun selama 27 tahun.

Mangsa kapapat (musim keempat) dalam kalender Jawa menjadi masa paling sibuk bagi Dwijo Sumarto. Sebab, dia harus menyiapkan segala sesuatu untuk kelancaran pembukaan Cupu Panjala. Hal yang sama juga dia lakoni pada awal pekan lalu. Cupu Panjala dibuka pada Selasa (23/9/2014) dini hari dan sejak Senin (22/9/2014) sore, Dwijo terus duduk di depan ruang penyimpanan cupu di rumahnya, Dusun Mendak, Desa Girisekar, Kecamatan Panggang, Gunungkidul.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kepada tamu yang datang, dia selalu bertanya nama dan maksud tujuan datang ke tempat itu. Selanjutnya, Dwijo mulai membakar kemenyan di tungku pembakaran yang berada di depan ruang penyimpanan cupu. Bersamaan dengan proses membakar kemenyan, Dwijo membantu peziarah berdoa supaya keinginannya segera dikabulkan.

“Saya hanya membantu. Sebab, maksud dan keinginan yang diinginkan, segala sesuatunya bergantung pada ketulusan pemohon,” kata Dwijo.

Mandat sebagai pemangku adat Cupu Panjolo dijalani sejak puluhan tahun lalu lalu. Tepatnya, saat dirinya menggantikan ayah mertuanya Rono Prawiro, sebagai pemegang cupu-cupu itu. Awalnya, Dwijo tidak menyangka mendapatkan amanah tersebut. Terlebih lagi, dirinya bukan keturunan langsung. Lewat berbagai pergolakan batin, termasuk menafsirkan mimpi-mimpi yang dia alami, Dwijo akhirnya menerima amanat tersebut.

“Dalam sebuah mimpi, saya bisa begitu dekat dan menjalin hubungan yang sangat baik dengan keponakan. Padahal, kenyataannya
hubungan kami kurang begitu dekat. Jadi, saya menyimpulkan mimpi tersebut sebagai sebuah pertanda agar saya merawat cupu-cupu
itu,” kata dia.

Dwijo mengaku selama dua tahun sejak dia diberi mandat menjadi pemangku adat, pembukaan Cupu Panjala masih dipegang Rono Prawiro. Tugas Dwijo masih tetap sama seperti ahli waris lainnya, yakni membantu ayah mertuannya dalam proses pembukaan kain kafan yang membungkus cupu-cupu itu.

“Saya baru benar-benar memimpin tradisi itu pada 1987 lalu. Namun, dalam pelaksanaannya saya tetap dibantu ahli waris lainnya,” ungkap dia.

Sebagai pemimpin upacara adat, Dwijo mengaku rutin berpuasa sebelum prosesi digelar. Tujuannya, untuk fokus memberikan pelayanan kepada tamu-tamu yang datang.

Dwijo menambahkan seusai tradisi pembukaan, cupu-cupu itu akan diberi kafan dan dikembalikan ke tempat semula. Selama setahun, Cupu Panjolo disimpan dan tak boleh ada orang yang masuk ke ruangan penyimpanan. Hanya sesekali,Dwijo masuk untuk membersihkan ruangan. Meski demikian, dia mengaku tidak menyentuh barang yang dianggap sakral tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya