SOLOPOS.COM - Ilustrasi (JIBI/Harian Jogja/Dok)

Penggunaan pewarna alam untuk batik masih menghadapi sejumlah persoalan.

Harianjogja.com, SLEMAN– Penggunaan pewarna alam untuk batik masih menghadapi sejumlah persoalan. Dukungan semua pihak, mulai masyarakat hingga pemerintah diperlukan untuk mewujudkan keinginan tersebut.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Wakil Rektor Universitas Gajah Mada Bidang Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Suratman mengatakan, penerapan batik pewarna alami di Sleman perlu dukungan pemerintah. Selama ini, Pusat Kajian Pewarna Alami UGM bekerjasama dengan Pemkab Sleman untuk pengembangan batik pewarna alami. “Selain support pemerintah, pemberdayaan ekonomi masyarakat yang berwawasan lingkungan juga perlu dilakukan,” katanya usai beraudiensi dengan Bupati Sleman Sri Purnomo, Kamis (15/12).

Dia berharap, perajin batik memanfaatkan sumber daya alam yang ada untuk menghasilkan pewarna alami. Hingga Januari 2015, katanya, Indonesia masih mengimpor pewarna sintetis untuk tekstil hingga 80.000 ton perbulannya. Padahal, penggunaan pewarna sintetis tekstil dalam kapasitas sangat besar sudah dilarang. “Indonesia sebenarnya memiliki kemampuan penghasil pewarna alami blue indigo terbesar di pasar dunia dan pewarna alami memiliki manfaat yang baik untuk tubuh,” ungkap Suratman.

Bupati Sleman Sri Purnomo mengatakan, pasar batik di DIY memberikan kontribusi besar bagi pengusaha dan pengrajin batik. Meski begitu, limbah sintetis dari pewarna batik juga tidak sesuai dengan Keputusan Bupati Sleman Nomor 17/Kep.KDH/A/2004 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Bupati No.35/2015 tentang tatakelola batik ramah lingkungan (eco batik). “Keseriusan untuk mengembangkan pewarna alami yang ramah lingkungan mendesak dilakukan,” katanya.

Diakuinya, masih ada beberapa tantangan untuk mengembangkan pewarna alami. Seperti kualitas dan kuantitas pewarna alami yang masih rendah hingga harga batik pewarna alami yang kurang bersaing di pasaran. Pihaknya bersama UGM, juga akan membahas dan mencarikan solusinya. Jika permasalahan tersebut sudah teratasi, katanya, pengusaha dan pengrajin batik yang menggunakan pewarna alami dapat meningkatkan pasaran produksinya.

“Kami akan secepatnya membahas masalah ini. Kerjasama penelitian dengan Pusat Kajian Pewarna Alami LPPM UGM akan diperkuat lagi. Khususnya masalah teknologi dalam standarisasi kualitas pewarna. Kami berharap kualitas pewarna alami dapat bersaing dengan pewarna sintetis,” ujar Sri.

Koordinator Pusat Kajian Pewarna Alami UGM Edia Rahyuningsih mengatakan, dari sisi harga, batik pewarna alami juga mampu bersaing dengan batik pewarna sintetis. “Sebenarnya harga dari batik pewarna alami ini tak kalah saing dengan batik pewarna sintetis. Kalau pewarna sintetis Rp120.000, batik pewarna alami dibanderol Rp200.000. Jadi tidak terpaut jauh dan masih terjangkau,” jelas Edia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya