SOLOPOS.COM - Ilustrasi prostitusi. (Solopos.com/Whisnupaksa Kridhangkara)

Solopos.com, SOLO -- Upaya Pemkot Solo di bawah kepemimpinan Wali Kota Gibran Rakabuming Raka bersama kepolisian untuk memberantas praktik prostitusi bukanlah persoalan mudah.

Apalagi, berdasar kajian sejarah, praktik pelacuran ini sudah terjadi di Kota Solo sejak zaman dulu. Bahkan stigma sebagai kota esek-esek pun sempat melekat untuk Kota Bengawan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Heri Priyatmoko, pernah menulis artikel tentang itu berjudul "Sejarah Prostitusi di Solo dan Cara Pemerintah Kolonial Mengaturnya".

Baca Juga: Prostitusi Solo Tak Akan Hilang Hanya Dengan Razia, Terus Apa Solusinya?

Dalam artikel yang dipublikasikan tirto.id pada 13 Februari 2019 itu menyebutkan penguasa tradisional kerajaan zaman dulu serta pemerintah Hindia Belanda pernah dibuat kelimpungan dengan praktik prostitusi yang merajalela di wilayah yang sekarang jadi Kota Solo.

Pada pertengahan abad ke-19 pemerintah kolonial membuat regulasi yang merestui komersialisasi aktivitas seksual. Keluarnya aturan itu salah satunya didorong kedatangan rombongan tentara kolonial Hindia Belanda yang tak bersama istri mereka.

Ketika itu dibangunlah rumah bordil atau pelacuran. Namun keberadaan rumah penyedia jasa cinta sesaat itu justru memunculkan permasalahan baru yaitu penyakit kelamin.

Baca Juga: Pendirian Minimarket di Kedawung Sragen Diprotes Warga Dan Pemilik Toko Lain

Penyakit Sifilis

Tubuh para pelanggan cinta sesaat digerogoti penyakit sifilis atau gonore akibat praktik prostitisi di Kota Solo itu. Merujuk arsip “Pranatan Pasundelan” bertarikh 1858 yang tersimpan di Perpustakaan Reksopustaka Mangkunegaran, tersurat kerja sama apik antara Residen Surakarta, Pakubuwono VIII, dan Mangkunegara V.

Mereka bersama-sama menyikapi maraknya penyakit akibat pergaulan dengan para pekerja seks komersial. Apalagi kasus itu tidak hanya terjadi di Solo tetapi juga Klaten dan Boyolali.

Apalagi fenomena itu sampai disorot jurnalis Javasche Courant. Sebab di tiga daerah itu banyak dijumpai prajurit militer dan buruh laki-laki perkebunan yang butuh menyalurkan hasrat seksual lantaran tak didampingi istri.

Baca Juga: Polisi Identifikasi Otak Penggerak Gerombolan Bersajam Yang Mengacau Di Sondakan Solo

Di sisi yang lain belitan masalah ekonomi di perdesaan mendorong sejumlah perempuan menceburkan diri menjadi pelayan nafsu sesaat para lelaki kesepian tersebut.

Kebutuhan Perut

Seperti dilaporkan surat kabar Darmo Kondo edisi 9 September 1925 dalam artikel berjudul Pengakoean Seorang Perempoean Djalang. Para pelaku prostitusi Kota Solo dan sekitarnya kala itu sadar menjual diri merupakan pekerjaan hina.

Tapi dorongan untuk memenuhi kebutuhan perut demikian kuat. Hasil dari bekerja sebagai buruh kontrak tak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Alhasil mereka memantapkan diri menjadi kupu-kupu malam.

Baca Juga: Bandar Narkoba Solo Tertangkap Dengan 148 Gram Sabu-Sabu, Upahnya Rp25.000/Gram

Regulasi resmi yang terus diperbarui hingga awal abad ke-20 mengatur tentang kewajiban penjaja seks komersial mencatatkan diri kepada pemerintah distrik terkait status pekerjaan mereka.

Namun fenomena prostitusi ilegal di Kota Solo dan sekitarnya saat itu jauh lebih banyak daripada yang legal. Para pelakunya menjalankan usaha itu secara sembunyi-sembunyi. Alhasil terjadi peningkatan signifikan jumlah penderita berbagai penyakit kelamin dan kulit.

Rumah Bordil

Bila pada 1870 tercatat 575 orang menderita sifilis dan 5.105 orang terkena morbi veneris, pada 1882 angkanya melonjak tajam. Pada tahun itu ada 1.290 orang terkena sifilis dan 10.108 orang terkena penyakit veneris.

Baca Juga: 14 Pengedar Narkoba Ditangkap Polisi Solo, Ada Perempuan Dan Anak-Anak

Fenomena itu membuat penguasa lokal dan residen terkejut. Sehingga didirikanlah rumah bordil baru yang membuat jumlah lokalisasi prostitusi di Solo bertambah, yaitu di wilayah Kratonan, Kestalan, serta Gilingan.

Plakat berstempel hitam yang dipasang pemerintah Hindia Belanda menjadi tanda resminya rumah pelacuran. Dari kisah tersebut menunjukkan negara tidak bisa angkat tangan begitu saja dan membubarkan rumah bordil seenaknya.

Pemerintah kolonial dan penguasa lokal Solo ketika itu sudah menyediakan pelajaran berharga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya