SOLOPOS.COM - Pintu gerbang menuju ke kawasan industri kerajinan Manding, seperti terlihat Rabu (8/7/2015). Lebih dari separuh pengusaha di kawasan ini ternyata belum membayar pajak. (JIBI/Harian Jogja/Arief Junianto)

Pembayaran pajak belum seutuhnya dilakukan perajin di Bantul.

Harianjogja.com, BANTUL—Lebih dari separuh perajin di Bantul belum taat pajak. Kepala Kantor Pajak Pratama (KPP) Bantul FG Sri Suratno mengatakan, seharusnya setelah 30 hari sejak dimulainya sebuah usaha, seorang pengusaha wajib memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Jika perajin mendapatkan laba, maka ia juga wajib membayar pajak penghasilan.

Promosi Semarang (Kaline) Banjir, Saat Alam Mulai Bosan Bersahabat

Namun hingga kini tak lebih dari 50% perajin di Bantul yang taat membayar pajak. Jika ditotal, tunggakan pajak itu bisa mencapai miliaran rupiah. “Persisnya berapa, saya belum kalkulasi,” ucapnya saat ditemui di sela-sela acara sosialiasi perpajakan bagi pengusaha sentra industri kerajinan di Balaidusun Manding, Desa Sabdodadi, Kecamatan Bantul, Selasa (7/7/2015) sore.

Menurut Sri Suratno, berdasar Peraturan Pemerintah (PP) No.43/2013, pengusaha yang dikenai pajak penghasilan (PPh) adalah pengusaha yang omzetnya tak lebih dari Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak. Masing-masing pengusaha hanya diwajibkannya membayar 1% dari jumlah omzetnya.

KKP bantul kini gencar melakukan sosialisasi untuk merangsang para pengusaha itu taat membayar pajak. Salah satu triknya dengan menggandeng perbankan dan Bea Cukai.

Jumakir, Ketua Kelompok Sadar Wisata Manding tak menampik lebih dari 50% pengusaha di Manding belum taat pajak. Namun dia membantah jika hal itu diartikan perajin mangkir dari kewajiban membayar pajak.

Jumakir mengatakan, selama ini perajin kesulitan mengakses informasi apapun terkait perpajakan. Faktor tingkat pendidikan yang rendah ditambah dengan rendahnya kemampuan dalam mengakses informasi menjadi sebab belum terbayarnya pajak itu. Di sisi lain, tak ada satu pun petugas penyuluh baik dari Pemkab Bantul maupun dari KPP Bantul yang datang memberi pemahaman kepada para perajin. “Ada beberapa dari kami yang sebenarnya sudah ingin membayar pajak, tapi mereka tidak tahu bagaimana caranya,” katanya.

Kawasan industri Manding mulai dirintis sejak 1978. Namun saat terjadi gempa pada 2006, banyak rumah produksi di Manding yang gulung tikar. Pascagempa, para perajin harus memutar otak agar bisa bertahan. “Salah satunya dengan membangun showroom dan galeri sampai sekarang ini,” katanya.

Jumakin mengatakan, omzet para pengusaha di Manding cukup tinggi. Kendati tak menyebut nominal persisnya, omzet dari penjualan hasil kerajinan tipe A yang berkualitas ekspor bisa mencapai Rp300 juta per transaksi. “Untuk penjualan lokal dan on the spot di showroom hanya sekitar Rp150 juta per hari,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya