SOLOPOS.COM - Ilustrasi (JIBI/Bisnis Indonesia/Rahmatullah)

Pembatasan lahan diatur dalam peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertahanan Nasional.

Kanalsemarang.com, SEMARANG—Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Izin Lokasi yang membatasi pembelian lahan secara massal oleh satu grup usaha dinilai tidak akan memengaruhi upaya Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk terus menggenjot realisasi investasi, khususnya di sektor industri.

Promosi Keren! BRI Jadi Satu-Satunya Merek Indonesia di Daftar Brand Finance Global 500

Kepala Badan Penanaman Modal Darerah Jateng Sujarwanto Dwiatmoko menjelaskan pemprov tetap optimistis realisasi investasi tetap dapat meningkat signifikan di wilayahnya dengan kehadiran regulasi tersebut. Permen ATR/BPN No. 5/2015 tentang Izin Lokasi, jelasnya, lebih dimaksudkan untuk membatasi kepemilikan lahan secara privat oleh individu atau badan hukum tertentu.

“Tidak akan mengganggu realisasi investasi. Itu lebih kepada pengaturan kepemilikan, sehingga tidak akan mendominasi lahan. Jadi, hanya mengatur hak privat,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (18/6/2015).

Seperti diketahui, pasal 4 ayat 1 Permen ATR/BPN No. 5/2015, menyatakan izin lokasi hanya dapat diberikan kepada perusahaan yang sudah menerima persetujuan penanaman modal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan untuk memeroleh tanah dengan luas yang ditentukan.

Dengan begitu, jika perusahaan tersebut berhasil membebaskan seluruh areal yang ditunjuk, maka luas penguasaan tanah perusahaan tersebut dan perusahaan-perusahaan lain yang merupakan satu grup usaha tidak lebih dari batasan yang ditentukan.

Ada empat bentuk usaha yang dibatasi regulasi tersebut. Untuk usaha kawasan industri, permen tersebut membatasi kepemilikan gurp usaha dengan luas lahan hingga 400 ha untuk satu provinsi dan 4.000 ha secara nasional. Batasan luas lahan serupa dikenakan kepada usaha pengembangan perumahan dan permukiman, namun untuk resort dan perhotelan dibatasi hingga 200 ha di satu provinsi.

Dua bentuk usaha lainnya yang diatur batasannya adalah perkebunan besar dengan Hak Guna Usaha dan Usaha Tambak. Ketentuan tersebut berlaku nasional, kecuali untuk Provinsi Papua dan Papua Barat yang maksimum luas penguasaan tanahnya menjadi dua kali batas maksimum untuk satu provinsi lainnya.

Sebelumnya, Menteri ATR/Kepala BPN Ferry Mursyidan Baldan mengatakan regulasi tersebut dimaksudkan untuk mengontrol peruntukan lahan di berbagai wilayah dan mencegah pembelian lahan secara massal oleh satu perusahaan.

Di sisi lain, aturan tersebut ditujukan untuk mencegah lamanya pemanfaatan lahan lahan yang telah dibeli sebab kerapkali lahan dianggurkan untuk memeroleh keuntungan atas kenaikan harga tanah.

Permen tersebut memang masih memungkinkan pengembang memeroleh izin lokasi lebih dari 400 ha. Namun, izin tersebut harus mendapatkan persetujuan dari kepala kantor pertanahan, kepala kantor wilayah BPN provinsi setempat, dan tentunya Menteri ATR/BPN.

Sujarwanto mengatakan realisasi pengembangan kawasan industri di wilayahnya dengan kapasitas lebih besar masih memungkinkan. Pasalnya, dia menilai pengembangan lahan tersebut nantinya dapat dilakukan secara bertahap.

Dia mencontohkan pengembangan tahap awal di atas lahan seluas 300 ha bagi pengembangan infrastruktur dan juga lahan industri yang langsung dipasarkan. Setelah terserap pasar, pengembangan tahap baru dapat dilanjutkan.
Dengan begitu, sambungnya, pada akhirnya pengembangan kawasan dapat diwujudkan dengan lahan yag lebih luas tetapi kepemilikan tanah sudah diserahkan kepada berbagai pelaku industri yang masuk di kawasan tersebut.

“Untuk kawasan industri masih bisa sampai 2.000 ha, tapi tidak berarti dimiliki oleh satu grup usaha karena sudah dijual,” ungkapnya.

Secara terpisah, Ketua Himpunan Kawasan Industri Jateng Mohammad Djajadi menuturkan regulasi tersebut cenderung kontradiktif dengan arahan lembaga pemerintah lain yang mengarahkan pengembangan kawasan industri yang lengkap atau yang tergolong tipe tiga.

Dengan luas lahan yang dibatasi 400 ha, dia menuturkan pengembangan kawasan industri tipe tiga yang juga menyediakan fasilitas kota mandiri, antara lain fasilitas umum dan fasilitas sosial, serta kawasan permukiman bagi pekerja, sulit direalisasikan. Secara perhitungan bisnis, sambungnya, pengembang kawasan industri tersebut tidak rasional untuk dikembangkan.

“Justru kontradiktif dengan keinginan pemerintah sendiri yang memberikan standar industri yang baru, tipe tiga. Tidak mungkin hanya dengan luasan kawasan 400. Lagi pula 60% dari luas lahan itu pada akhirnya akan menjadi milik pelaku industri belum untuk fasos-fasum,” ujarnya.

Djajadi menuturkan regulasi tersebut juga akan sulit direalisasikan di sejumlah daerah. Apalagi, jelasnya, di tengah upaya menggenjot investasi sejumlah kota/kabupaten di Jateng belum memiliki kawasan industri.

“Kecuali [pemerintah pusat] memberikan jutlak di kabupaten/kota. Saat ini sulit untuk menerjemahkan kawasan itu di daerah yang belum punya kawasan industri. Terlebih lagi, pengembang kawasan industri diperlakukan sama dengan pengembang perumahan,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya