SOLOPOS.COM - Suasana pemukiman warga yang berdekatan dengan bangunan tinggi di Kampung Sondakan, Laweyan, Solo, Minggu (17/1/2016). Warga menghawatirkan banyaknya pembangunan gedung tinggi di kawasan Kota Solo akan berdampak terhadap lingkungan salah satunya terkait cadangan air tanah untuk konsumsi masyarakat. (Ivanovich Aldino/JIBI/Solopos)

Pembangunan Kota Solo, banyaknya investasi di Kota Solo ternyata membuat warga kesulitan memperoleh air bersih.

Solopos.com, SOLO–Sebuah tembok setinggi tiang listrik menjulang di tepi perkampungan padat penduduk RT 002/RW 013, Kelurahan Purwosari, Kecamatan Laweyan. Lima keran air yang terhubung dengan selang dan pipa menempel di tepi dinding menjulang itu. Aliran air tersebut mengalir ke rumah-rumah warga perkampungan yang berada persis di belakang gang selebar mobil.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

“Kira-kira Ramadan tahun lalu [2015] warga di sekitar sini sambat air sumurnya pada kering. Oleh pengelola proyek, warga diberikan air lewat keran,” terang Kriswantolo, Ketua RT RT 002/RW 013 Purwosari, saat ditemui Solopos.com di rumahnya, Minggu (17/1/2016) siang.

Dikisahkan Kris, sapan akrabnya, sejumlah sumur warga baru kali pertama mengalami kekeringan. Kebetulan tempat tinggal warganya berada persis di belakang satu hotel bertingkat, satu gedung bertingkat milik pemerintah, serta dua bakal hotel bertingkat baru yang saat ini sedang dalam proses pembangunan.

Selain perkara air, Kris menuturkan dampak pembangunan gedung bertingkat di dekat perkampungan padat penduduk juga sudah saban hari dialami warga. Salah satunya, sinyal televisi milik warga sekitar terganggu. “Saat crane berputar ke arah perkampungan, gambar di televisi kami jadi jelek,” tuturnya.

Meskipun selama ini sudah merasakan dampak pembangunan, sambung Kris, warganya selama ini hanya menggerundel menyikapi berbagai dampak pembangunan dari gedung bertingkat yang mengepung kampung.

“Warga kami tidak rewel. Mereka sudah terima dengan kompensasi uang Rp3 juta saat pembangunan hotel baru [Harris-Pop]. Saat pembangunan Sala View, mereka juga menerima uang kompensasi Rp1,5 juta. Mereka tidak pernah menuntut macam-macam. Justru warga dari wilayah lain yang tidak terima,” bebernya.

Menurut Kris, keberadaan hotel dan gedung pencakar langit di sekitar wilayahnya belum memberikan sumbangsih nyata bagi kampung. “Ada atau tidak ada hotel tidak ngefek. Warga di sekitar sini juga tidak ada yang dipekerjakan di sana. Karena kerja di hotel biasanya butuh skill, warga kami tidak punya itu,” ujarnya.

Kisah lain datang dari warga yang tinggal di Kampung Tegalrejo RT 001/RW 001 Kelurahan Sondakan. Nur Jannah, 57, merasakan betul lingkungan di sekitarnya berubah drastis dari 30 tahun yang lalu. “Dulu di sini ramai. Banyak juragan batik dan pegawainya. Sekarang tetangganya loji-loji [gedung tinggi]. Boro-boro menyapa, menyalakan lampu kalau malam saja tidak dilakukan kalau tidak diweling,” keluhnya.

Warga yang tinggal di rumah yang berjarak kurang lebih 30 meter dari Jl. Slamet Riyadi ini juga merasakan tempat tinggalnya semakin tidak nyaman. “Kalau sumur kering, warga di sekitar sini sudah sekitar 10 tahun ini mengalaminya. Saya sendiri pilih memasang PDAM. Selain kering, kualitas airnya juga tidak bagus untuk dikonsumsi,” bebernya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya