SOLOPOS.COM - Seorang warga memelihara tanaman bonsai di halaman depan rumah Sarjono di Dukuh Griyan RT 004/RW 001, Desa Gentan Banaran, Plupuh, Sragen, Selasa (18/10/2016). (Tri Rahayu/JIBI/Solopos)

Peluang usaha budidaya bonsai masih menjanjian. Kampung Bonsai Sragen bisa menjadi rujukan.

Solopos.com, SRAGEN — Kampung bonsai Sragen mampu membuktikan peluang usaha bonsai masih menjanjikan. Sebuah rumah berdinding papan dikelilingi puluhan pohon bonsai berukuran besar. Rumah milik Ahmad Suhardi, 41, di Dukuh Griyan RT 004/RW 001, Desa Gentan Banaran, Plupuh, Sragen itu memang menjadi pusat budidaya tanaman bonsai.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Di belakang rumah Suhardi masih ada ratusan tanaman bonsai jenis beringin. Tanaman serupa juga dijumpai di halaman rumah para warga lainnya di dukuh itu.

Dukuh yang terletak di pinggir Bengawan Solo itu menjadi kampung bonsai sejak 2002. Kini, ekonomi dukuh yang dihuni 60 kepala keluarga itu bertopang pada budidaya bonsai. Pertanian padi hanya menjadi pekerjaan sampingan bagi mereka karena hasilnya lebih menjanjikan menjadi petani bonsai.

Suhardi menjadi salah satu pioner pengembang bonsai beringin di dukuh itu. Ia mengembangkan bonsai itu bersama para tokoh bonsai lainnya, seperti Sarjono dan Mulyono. Potongan pangkal pohon asem dan beringin berukuran besar ditanam di depan halaman rumahnya. Pangkal pohon itu sengaja ditanam sebagai bahan atau bakalan bonsai. Pangkal pohon itu diperoleh dari pencarian di beberapa daerah.

Puluhan Juta

“Dua bahan bonsai beringin itu sudah laku Rp75 juta. Kalau tiga bahan bonsai asem juga sudah laku Rp11,5 juta. Banyak penggemar bonsai yang mencari bahan ke Griyan ya karena pusatnya di sini. Griyan ini menjadi tempat tujuan nasional untuk mencari bahan bonsai khususnya jenis beringin,” kata Suhardi saat berbincang dengan Solopos.com di kediamannya, Selasa (18/10) siang.

Ia membudidayakan bonsai sejak 1997. Banyak pelanggannya dari Medan, Madua, dan Bali. Ia mendapatkan bahan bonsai dari alam liar atau dengan rekayasa, yakni dengan cara cangkok. Ia biasa memburu pohon-pohon beringin besar yang dikeramatkan warga. Ketika banyak warga tak berani menebang, Suhardi justru datang dan membeli pohon angker itu.

Ukuran pohonnya yang besar pasti berumur puluhan sampai ratusan tahun. Secara fisik, pohon-pohon besar itu sudah memiliki basik yang bagus untuk bonsai raksasa.

“Masyarakat Griyan ini total membudidayakan bonsai. 75% dari 60 KK itu menggantungkan hidup mereka dari batang bonsai. Bonsai beringin di Griyan ini tidak ada habisnya karena bibitnya banyak dan bisa diproduksi setiap saat. Jenisnya macam-macam, ada beringin karet, beringin taiwan, beringin lokal, sampai beringin impor,” katanya.

Variasi

Harganya yang dipasang pun bervariasi mulai dari Rp10.000/batang sampai ratusan juta rupiah per batang. Agustus lalu, Suhardi bisa mendapatkan omset Rp40 juta-Rp50 juta per bulan. Kalau bulan-bulan terakhir, omsetnya hanya Rp20 juta-Rp30 juta per bulan.

Suhardi menjual bonsainya belum sampai bentuk jadi tetapi kebanyakan masih bahan. Selain itu ia juga melayani jasa perawatan bonsai milik warga dengan honor Rp200.000 per batang.

“Hampir semua bonsai milik warga yang menggarap saya. Sistemnya bisa bagi hasil atau dengan memberi honor. Saking banyaknya bonsai beringin dengan karakter yang unik, maka Griyan ini mendapat julukan sebagai macan beringin,” ujarnya.

Di lingkungan rumah Sarjono, 50, pun tak kalah menarik. Di rumah yang menghadap ke barat itulah awal mula budidaya bonsai. Suhardi pun belajar membentuk karakter bonsai di tempat itu. Awalnya, Sarjono hanya bekerja sebagai tukang siram bonsai di Jakarta Utara.

Pola Pikir

Sejak krisis moneter 1998, ia pulang ke kampung dan membudidayakan bonsai. Semua pekerjaan Sarjono hanya dipandang sebelah mata warga sekitar. Seiring berjalannya waktu, pekerjaan Sarjono pun diikuti warga karena hasilnya menjanjikan.

“Mengubah pola pikir masyarakat dari pertanian padi ke bonsai butuh waktu. Baru 2002, masyarakat Griyan ini budidaya bonsai mengikuti jejak saya. Saya mengumpulkan teman-teman di Solo membentuk Persatuan Penggemar Bonsai Indonesia (PPBI) di Solo yang mencapai puncaknya pada 2007 dengan adanya musyawarah nasional,” kata Sarjono.

Ia pun mendirikan PPBI di Sragen dan mencapai puncaknya pada kegiatan pameran tingkat nasional dan munas pada 2015 lalu. Kini anggota PPBI Sragen mencapai 300 orang. Ia sendiri memiliki 10.000 m2 lahan yang dipenuhi tanaman bonsai. Omset rata-rata per bulan yang didapat Sarjono minimal Rp10 juta.

“Dari hasil budidaya bonsai, saya bisa menyalonkan diri ikut pemilihan kepala desa. Kalau Rp350 juta habis. Sekarang saya justru mengajari para kepala desa agar setelah purna tugas bisa menjadi pengrajin bonsai. Kami melayani semua keingin konsumen. Mau membuat bonsai dari harga Rp10.000/batang sampai harga ratusan ribu rupiah per batang,” ujar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya