SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Beberapa waktu lalu kita disajikan satu isu glo bal yang mencuat dan diberitakan luas mengenai perubahan iklim yang dibahas dalam konferensi di Copenhagen, Denmark. Ada beberapa kejadian, ada yang memprotes dan yang mendukung. Juga ada perseteruan antara negara maju dan negara berkembang. Pada kesempatan ini, kita mengundang Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofi sika (BMKG) Dr. Edvin Aldrian. Mudah-mudahan kita bisa memfokuskan pikiran pada yang terjadi dengan dunia saat ini terutama mengenai iklim dan kehidupan kita beberapa waktu yang akan datang. Berikut wawancara Faisol Riza dengan Edvin Aldrian.

Apa yang Anda tangkap dari pertemuan global kemarin di Copenhagen, Denmark mengenai perubahan iklim yang ke lihatannya banyak negara memiliki perhatian sama terhadap masalah ini?
Mungkin kita bisa melihat keinginan besar negara-negara dunia melalui kehadiran 119 kepala negara dan beberapa diantara nya diwakili menteri senior dan sebagainya. Itu merupakan suatu pertemuan terbesar dalam sejarah karena dihadiri banyak kepala negara sehingga kita melihat ada urgensi dan harapan yang sedemikian besar. Kalau kita lihat dari pidato kenegaraan mereka yang ma singmasing diberi waktu sekitar tiga menit, sebenarnya semua sudah selaras ingin mendapat kan suatu hasil optimal yaitu perjanjian yang disebut legally binding. Itu agar dapat me ngatur tata kehidupan baru mengenai emisi gas rumah kaca dan mereduksi dampak perubah an iklim. Tentu saja kemauan politis ini di dalam tataran negosiasinya jauh berbeda. Yang keluar dalam tataran negosiasi di atas meja perundingan adalah kepentingankepenting an kelompok atau negara-negara tersebut. Negara maju sendiri terbagi menjadi Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS) dengan posisinya sendirian. Ada juga umbrella group yaitu Jepang, Australia dan negara lainnya.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Apa yang menjadi keberatan di dalam perundingan itu?
Saya ambil contoh masalah hak cipta. Negara maju seperti AS bersikukuh bahwa hak cipta harus masuk dalam traktat atau hasil perundingan itu. Jadi mereka akan memberikan peluang kepada pihak-pihak swasta dan perusahaan mereka untuk dapat tetap hidup. Namun negara berkembang mengatakan kalau diadakan hak cipta artinya sama saja kapital akan mengalir ke negara maju, padahal negara berkembang masih membutuhkan pendanaan dan teknologi transfer. Contoh nyata adalah solar panel atau panel sel surya yang merupakan salah satu jenis teknologi renewable energy yang sangat menjanjikan. Meskipun Indonesia sudah dapat memproduksi sendiri karena teknologinya hanya beberapa jenis, tapi kita harus tetap membayar. Nah, kita minta negara maju agar melepaskan hak cipta pada green technology. Kalau semua menyangkut hak cipta artinya sama saja tidak ada lagi teknologi transfer yang murni, dan kita juga masih terkungkung oleh kapitalisme yang lari ke negara maju. Padahal dari sisi pendanaan, negara berkembang menginginkan sebaliknya.

Apa keuntungannya bagi negara seperti Indonesia?
Kita sangat bersyukur karena ada hasil dari pertemuan Copenhagen walaupun sangat minimalis. Saya mengatakan hasil perundingan Bali mungkin jauh lebih baik karena masih menyebut masalah pengurangan emisi/karbon dari pengundulan dan pengrusakan hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation/REDD). REDD plus itu yang sebenarnya argumen utama dalam meja perundingan bagi Indonesia karena kita adalah negara kehutanan. Jadi kita mengusulkan agar salah satu skema pendanaan adalah mengalihkan produksi hutan pemakaiannya dengan skema REDD tadi. Itu cukup masuk dan kita lihat sangat memungkinkan untuk ke depannya. Selain itu kita melihat ada skema pendanaan yang masuk dalam Traktat Copenhagen (Copenhagen Accord) meskipun masih sangat minimalis menurut negara berkembang. Misalnya, AS menjanjikan sekitar US$10 triliun per tahun hingga 2020. Arti nya, jumlah itu sangat kecil dibandingkan bailout mereka terhadap bank-bank yang hampir kolaps yaitu sekitar US$700 tri liun yang dalam setahun saja mereka berani mengeluarkannya. Itu baru dari AS. Lalu juga pendanaan di Global Environment Fund (GEF) yang dipersiapkan untuk dana adaptasi perubahan iklim global tapi baru 0,05 persen dari kebutuhan global terkait janji negara-negara maju dan hanya AS yang menyampaikannya.

Kita tahu bahwa perubahan iklim terjadi semakin lama semakin besar dan dampaknya juga semakin luas, namun pemerintah kita maupun pemerintah dunia terasa tidak terlalu siap untuk melakukan perubahan di dalam sikap dan manajemen lingkungan hidup. Apa yang dimaksud perubahan iklim dan bagaimana fenomenanya?
Perubahan iklim adalah dampak tidak langsung dari pemanasan global. Yang terjadi pertama adalah pemanasan global lalu diikuti beberapa gejala langsung seperti kenaikan suhu bumi lalu kenaikan permukaan air laut. Kedua, dampak tadi menyebabkan penurunan luasan atau cakupan es-es seperti di kutub, Greenland, puncak salju abadi dan yang kita punya adalah Puncak Jaya Wijaya. Dari perubahan yang langsung tadi juga mengakibatkan perubahan pada iklim. Kalau semula kita memiliki suatu keteraturan iklim seperti awal musim hujan atau kemarau datang di bulan tertentu, maka itu akan berubah. Selain itu, adanya pemanasan global membuat temperatur/suhu di suatu daerah, misal Cianjur, akan berubah menjadi naik. Jadi, itu ada implikasinya dengan kenaikan temperatur di kota dataran tinggi seperti Cianjur. Itu akan membawa penyakit akibat nyamuk seperti malaria ke daerah tersebut, padahal sebelumnya tidak ada. Ada dampak yang bergulir dari satu hal ke hal lain. Perubahan pola musim juga akan mengganggu aktifi tas kehidupan petani dan nelayan. Jadi ada sektor kehidupan yang terkena dan makin lama dirasakan bahwa ternyata hampir seluruh sektor kehidupan manusia terkena dampaknya.

Apakah ini tidak hanya terjadi di Indonesia?
Ya, tentu saja. Saat ini secara global sudah disadari bahwa tidak ada bangsa atau umat manusia yang terlepas dari gejala global ini.

BMKG sudah ikut serta menanggulangi perubahan iklim. Apa saja yang sudah dilakukan dan kira-kira bagaimana dampak ke depannya?
Sebenarnya pemerintah kita dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah menunjukkan voluntary action dengan menawarkan mereduksi karbon secara sukarela sebesar 26% dari business as usual sampai tahun 2020. Kalau dibantu oleh pendanaan asing kita akan mentargetkan  sampai 41%. Saya rasa inisangat luar biasa sekali. Yang menjadi masalah adalah bagaimana kita mengawal putusan itu untuk ke depannya bisa direalisasikan. Itu target yang cukup ambisius.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya