SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Bisnis katering memang menggoda. Selain tak akan pernah kehilangan pangsa pasar, keuntungan bisnis ini juga menggiurkan.

Melakukan perencanaan matang dan fokus adalah kunci utamanya. Sebab, ada waktu tertentu katering benar-benar sepi. Pada Muharam (Suro) atau Ramadan, misalnya. Pada dua bulan ini jarang ada hajatan yang merupakan salah satu pangsa pasar penting bisnis ini.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sri Witartini, pemilik Bu Wasi Catering di Jalan Langenastran Lor 10 Jogja mengatakan dalam sebulan selama puasa usaha kateringnya mengalami penurunan pendapatan hingga 75%. Meski bukan merupakan industri dan hanya melayani pemesanan, tetap saja omzet yang diperoleh perempuan berusia 48 tahun ini menurun drastis. Dari Rp700 juta per bulan menjadi kurang lebih Rp175 juta.

“Ya, pesanan pasti berkurang. Tapi tetap masak, menyediakan menu buka puasa bersama untuk Masjid,” tuturnya saat ditemui di rumahnya, Rabu (27/7).

Usaha di bidang kuliner yang kini digeluti Tini merupakan warisan dari kakeknya. Pada sekitar 1960an, kakeknya-lah yang memasak makanan untuk para pengungsi karena situasi politik akibat pemberontakan PKI di wilayah Godean. “Saat itu untuk mencari bahan makanan sangat susah, jadi semua dikumpulkan dan masaknya jadi satu,” kisah perempuan berkerudung ini.

Setelah dipindah ke Temon, Kulonprogo, kakek Tini masih terus memasak. Konon, kakek dipercaya sebagai koki Bupati Kulonprogo dan pejabat lain. Setelah kakeknya meninggal pada 1974,urusan masak memasak diserahkan kepada putrinya, yakni ibu dari Tini bernama Wasi. Saking cintanya pada dunia kuliner, Wasi rela mengambil pensiun muda dari jabatannya sebagai guru SMPN 5 Jogja.

Sejak 1990-an usahanya berkembang pesat dan usahanya diteruskan oleh Tini “Saya anak pertama, mau tidak mau saya yang harus mengelolanya,” kata ibu satu putra, berparas ayu ini.

Kebetulan, suami Tini bernama Maryono saat itu bekerja di bidang keuangan di Hotel Garuda. Sehingga setelah Wasi meninggal dunia tahun 2000, Maryono dan Tini memiliki bekal yang matang dalam mengelola warisan katering ibunya.

Katering yang dia kelola sering melayani pesanan dari luar DIY ini, Jumlah karyawan sebenarnya tidak terlalu banyak yakni hanya lima pegawai tetap. Tapi jika pesanan membeludak, Tini menambah pegawai hingga 200 orang.

Tapi soal mencicipi rasa, Tini tidak main-main. Ia tidak akan pergi ke manapun sebelum makanan diangkat dari panci. “Saya harus menyiapkan lidah saya di rumah, tidak berani ke mana-mana kalau belum mencicipinya sendiri.”

Makanan memang tak bisa terpisah dari rasa. Inilah keunikannya, Tini tidak bisa percaya pada orang lain untuk mencicipi makanan. “Kalau benar-benar terpaksa dan pesanan cuma sedikit sementara saya tidak di rumah, saya minta tolong koki saya mencicipinya, dan harus dicicipi bareng-bareng.”

Beruntung, kemahiran Tini mencicipi masakan ini juga diwarisi anak semata wayangnya, Anugrah Adi Pratama yang saat ini masih menempuh pendidikan S1 di sebuah kampus Jogja.(Wartawan Harian Jogja/Tri Wahyu Utami)

HARJO CETAK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya