SOLOPOS.COM - Siti Farida (Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Dalam kerangka demokrasi, pelayanan publik merupakan kewenangan pemerintahan yang bersumber dari suara rakyat melalui pemilu. Rakyat itu pihak yang ”dilayani” dengan pemerintah sebagai ”pelayan”. Ekspektasi publik terhadap penyelenggaraan pelayanan berkualitas menghasilkan kepercayaan terhadap negara, demikian sebaliknya, karena negara wajib menjamin kebutuhan rakyat sebagai perwujudan negara kesejahteraan (welfare state).

Jika ditarik ke tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, pelayanan publik sesungguhnya merupakan saripati dari kalimat “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; dan mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Promosi Timnas Garuda Luar Biasa! Tunggu Kami di Piala Asia 2027

Mencegah Maladministrasi

Birokrasi di Indonesia masih memiliki patologi berupa maladministrasi, termasuk perilaku buruk dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Rendahnya kualitas pelayanan publik ini sangat dipengaruhi oleh kinerja birokrasi akibat maladministrasi dan korupsi yang akut. Pada awal 2021, Transparency International Indonesia (TII) menekankan bahwa pandemi Covid-19 bukan hanya menimbulkan krisis kesehatan dan ekonomi, tetapi juga krisis korupsi.

Korupsi yang merusak pelayanan publik juga berpotensi terjadi dalam penanganan pandemi Covid-19. Dalam situasi pandemi, banyak negara menghadapi krisis ganda, yakni krisis kesehatan dan ekonomi secara bersamaan.

Negara dengan korupsi yang tinggi terbukti gagap dalam menangani pandemi. Ian Shapiro mengatakan bahwa dalam krisis selalu ada pihak yang mengambil keuntungan. Seperti saat ini, maladministrasi dan korupsi masih merajalela.

Oleh karena itulah, Ombudsman Republik Indonesia (RI) menggaungkan tagline Mengawal Pelayanan Publik di Masa Pandemi Covid-19 melalui pencegahan maladministrasi. Ikhtiar ini harus dilakukan secara simultan dengan perbaikan pelayanan atau birokrasi dan pemberantasan korupsi melalui penegakan hukum yang konsisten.

Progresif-Partisipatif

Maladministrasi dan korupsi dalam pemerintahan menyebabkan sumber daya tidak teralokasikan untuk rakyat, tetapi masuk ke aparatur negara dan kroninya. Itulah sebabnya indeks pelayanan publik kita belum kompetitif, bahkan untuk tingkatan kawasan Association of South East Asia Nation (ASEAN). Kualitas pelayanan publik yang buruk bisa memicu keresahan dan kesadaran bahwa sumber daya publik sedang digelapkan. Uang rakyat disalahgunakan.

Ombudsman RI menekankan pentingnya transformasi pelayanan publik yang progresif-partisipatif. Transformasi ini mensyaratkan partisipasi masyarakat sebagai bagian tidak terpisahkan. Masyarakat dapat menyampaikan laporan/pengaduan terkait pelayanan publik. Melalui kerangka hukum pelayanan publik dalam UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik dan UU No. 37/2008 tentang Ombudsman RI, partisipasi rakyat ditempatkan sebagai poros utama dalam tatanan yang berkeadilan.

Ketiadaan partisipasi akar rumput berakibat absennya transparansi, juga lemahnya kesadaran untuk menilai implikasi kronis maladministrasi serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam pelayanan publik.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Rodi Wahyudi dan kawan-kawan pada 2015 mengemukakan rendahnya kualitas pelayanan publik dipengaruhi oleh pola pikir penyelenggara. Penelitian ini membagi tiga kelompok yaitu, pola pikir ikan lele, ilalang dan sapu lidi.

Pertama, ikan lele adalah cara berpikir penyelenggara yang nyaman dalam sistem birokrasi yang buruk. Ikan lele merasa tenang jika berada dalam air keruh. Semakin keruh, dia semakin nyaman. Lele malah merasa tidak nyaman jika airnya jernih. Orang dengan karakter seperti inilah yang menghambat reformasi birokrasi.

Kedua, pola pikir ilalang, sejenis tumbuhan yang condong mengikuti arah angin. Mereka tidak menolak perubahan, tetapi juga tidak mendukung. Ketiga, pola pikir sapu lidi atau alat untuk menyapu dan membersihkan kotoran. Apabila hanya sebatang, lidi tidak akan mampu menyapu sampah. Sebaliknya, jika mereka dalam ikatan yang kuat dan dikelola dengan kepimpinan yang tepat, akan dapat membersihkan kotoran. Tentu dengan syarat sapu lidi itu bersih dan progresif. Inilah yang mampu membersihkan maladministrasi dan korupsi.

Prof. Satjipto Rahardjo menekankan bahwa karakter progresif adalah kemampuan menerobos status quo atau berdaya dobrak demi melayani kemanusiaan. Kemampuan ini sejenis ketangguhan yang dibutuhkan dalam pelayanan publik di masa pandemi. Di sini, pelayanan publik adalah ikhtiar kunci untuk menghapuskan kemiskinan, memberdayakan rakyat, hingga memeratakan sumber daya yang berkeadilan. Ini karena keadilanlah yang paling dekat dengan kemanfaatan publik.

Inilah era baru pelayanan publik (new publik service). Rakyat berhak mendapatkan pelayanan berkualitas dari negara, perlindungan, didengar suaranya, dan dihargai preferensinya (citizens influence).

Merdeka mesti bermakna pelayanan publik terbebas dari maladministrasi dan korupsi. Oleh karena itulah perilaku yang menghambat harus diberantas demi terwujudnya slogan Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh yang menjadi semangat 76 tahun kemerdekaan RI.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya