SOLOPOS.COM - Ilustrasi logo halal. (Pictagram)

Solopos.com, SOLO — Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) kuliner di Soloraya lebih mempersoalkan terkait mahalnya biaya untuk pengurusan sertifikasi halal ketimbang pengambilalihan penerbitan label tersebut.

Kali terakhir, kini Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementerian Agama (Kemenag) yang berhak menerbitkan sertifikat halal dari sebelumnya yang menjadi wewenang Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Salah satu pelaku UMKM asal Banjarsari, Solo, Munjiati, mengaku tak masalah siapa yang berhak mengeluarkan sertifikat halal khususnya untuk produk makanan kuliner.

Pihaknya justru mengharapkan biaya pengurusan sertifikasi label halal ini dipermurah dan lebih transparan.

Pengambilalihan penerbitan sertifikat halal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Dalam UU tersebut, BPJPH resmi beroperasi pada Kamis (17/10/2019).

Dalam hal ini, BPJPH mengambil kewenangan MUI dalam pengujian dan sertifikasi halal suatu produk. Adapun pendaftaran permohonan sertifikat diajukan oleh pelaku usaha kepada BPJPH secara manual dengan mendatangi kantor BPJPH, Kanwil Kemenag Provinsi dan Kantor Kemenag di setiap kabupaten atau kota.

“Ya memang label halal itu bisa menambah kepercayaan konsumen akan produk serta adanya jaminan aman untuk dikonsumsi. Saat mau saya titipkan outlet [produk], saya sering ditanya produknya sudah ada label halalnya belum. Saya sempat hendak mengajukannya [sertifikasi halal], tapi lihat biayanya mahal,” ujar pemilik sekaligus pembuat snack simping Condhong Raos ini, kepada solopos.com, Minggu (20/10/2019).

Munjiati menjelaskan saat ini ia baru mengantungi izin produk industri rumah tangga (P-IRT) untuk snack simping buatannya. Izin ini diperoleh secara cuma-cuma lewat fasilitasi Dinas Kesehatan setempat yang bekerja sama dengan sejumlah komunitas UMKM.

Menurutnya, ia mengetahui ada pendampingan dari dinas atau lembaga terkait untuk mengajukan sertifikasi produk halal. Namun demikian, niatnya untuk mengajukan sertifikasi surut setelah mengetahui besaran biaya yang harus dikeluarkan demi memperoleh label halal tersebut.

Ia bercerita untuk bisa mendapatkan logo halal tersebut ia mesti merogoh kocek Rp1,5 juta – Rp2,5 juta. Konon, ini belum termasuk pemeriksaan atau audit ke industri setelah dokumen yang diunggah ke Certification Online (Cerol) milik Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI Jawa Tengah, dianggap cukup.

“Itu saja untuk satu produk. Jadi kalau misal saya punya banyak produk yang harus saya daftarkan label halal, berapa uang yang mesti saya keluarkan. Ini belum lagi saat perpanjang sertifikasi yang lebih mahal lagi biayanya,”keluhnya.

Padahal produk hasil UMKM miliknya dijual dengan harga murah. Misalnya, untuk snack simping rasa original ukuran 100 gram hanya dibanderol dengan harga Rp16.000 untuk eceran dan Rp13.000 untuk grosir.

Menurutnya, sebenarnya snack bikinannya terbuat dari bahan-bahan yang halal, yakni tepung beras ketan, tepung tapioka, gula pasir, santan kelapa, dan wijen. Tetapi dia berniat memperluas pasar dengan masuk ke toko modern yang kerap menitikberatkan pada label halal.

Pemilik usaha Vega Bakery, Lilik Sari, memutuskan mencari sertifikat halal untuk produk rotinya pada 2016 lalu. Hal ini untuk memudahkannya melayani order khususnya dari konsumen instansi pemerintahan sekaligus memperluas pasar.

Menurutnya, tak mudah untuk mendapatkan label halal tersebut. Selain persyaratan administratif, diperlukan proses panjang meliputi pengecekan langsung terhadap bahan baku, alat mengolah hingga pengolahan.

“Saya berharap agar masa berlaku izin tersebut bisa lebih panjang. Prosesnya kan sulit, kenapa tidak 5 tahun sekalian masa berlakunya, bukan hanya 2 atau tahun. Apalagi ada biayanya. Kalau kami difasilitasi pemerintah, jadi tidak bayar,” paparnya.

Pemilik Abon Kereta Mas, Dewi, juga mengaku sulitnya memeroleh sertifikat halal. Menurutnya, prosesnya cukup panjang mulai dari pendaftaran, pelengkapan dokumen, hingga pengecekan bahan baku, alat, dan sebagainya.

"Sulit kalau halal ini, dulu saya isi formulir dulu. Apa yang kami pakai [bahan baku] dimintai [contoh] kecuali bawang," katanya.

Syariah Hotel Solo yang sudah memegang sertifikat jaminan mutu halal dari LPPOM MUI Jateng menilai ini justru menjadikan hotel untuk senantiasa berbenah menjadi pioner dan pelopor hospitality halal.

Public Relations Syariah Hotel Solo, Adil Erdita Ayu Marta, menyebut proses untuk mendapatkan sertifikat ini cukup fair dan mengikuti semua prosedur yang disyaratkan oleh LPPOM MUI Jawa Tengah. Di samping itu, sederet data yang diajukan manajemen Syariah Hotel Solo lebih banyak. Ini pun menjadi tantangan manajemen untuk merampungkannya.

“Tahun ini kami audit lagi untuk perpanjangan sertifikasi. Akan tetapi, karena ada pemindahan kewenangan kami akan berkonsultasi terlebih dahulu, apakah langsung perpanjangan atau bagaimana. Apalagi kami mesti mempertahankan brand syariah sehingga semua harus halal, bukan hanya makanan, tapi sampai ke penyajiannya,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya